Senin, 14 Februari 2011

education environment for life health

Pendidikan lingkungan hidup haruslah:
  • Mempertimbangkan lingkungan sebagai suatu totalitas — alami dan buatan, bersifat teknologi dan sosial (ekonomi, politik, kultural, historis, moral, estetika);
  • Merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus dan sepanjang hidup, dimulai pada jaman pra sekolah, dan berlanjut ke tahap pendidikan formal maupun non formal;
  • Mempunyai pendekatan yang sifatnya interdisipliner, dengan menarik/mengambil isi atau ciri spesifik dari masing-masing disiplin ilmu sehingga memungkinkan suatu pendekatan yang holistik dan perspektif yang seimbang.
  • Meneliti (examine) issue lingkungan yang utama dari sudut pandang lokal, nasional, regional dan internasional, sehingga siswa dapat menerimainsight mengenai kondisi lingkungan di wilayah geografis yang lain;
  • Memberi tekanan pada situasi lingkungan saat ini dan situasi lingkungan yang potensial, dengan memasukkan pertimbangan perspektif historisnya;
  • Mempromosikan nilai dan pentingnya kerjasama lokal, nasional dan internasional untuk mencegah dan memecahkan masalah-masalah lingkungan;
  • Secara eksplisit mempertimbangkan/memperhitungkan aspek lingkungan dalam rencana pembangunan dan pertumbuhan;
  • Memampukan peserta didik untuk mempunyai peran dalam merencanakan pengalaman belajar mereka, dan memberi kesempatan pada mereka untuk membuat keputusan dan menerima konsekuensi dari keputusan tersebut;
  • Menghubungkan (relate) kepekaan kepada lingkungan, pengetahuan, ketrampilan untuk memecahkan masalah dan klarifikasi nilai pada setiap tahap umur, tetapi bagi umur muda (tahun-tahun pertama) diberikan tekanan yang khusus terhadap kepekaan lingkungan terhadap lingkungan tempat mereka hidup;
  • Membantu peserta didik untuk menemukan (discover) gejala-gejala dan penyebab dari masalah lingkungan;
  • Memberi tekanan mengenai kompleksitas masalah lingkungan, sehingga diperlukan kemampuan untuk berfikir secara kritis dengan ketrampilan untuk memecahkan masalah.
  • Memanfaatkan beraneka ragam situasi pembelajaran (learning environment) dan berbagai pendekatan dalam pembelajaran mengenai dan dari lingkungan dengan tekanan yang kuat pada kegiatan-kegiatan yang sifatnya praktis dan memberikan pengalaman secara langsung (first – hand experience).

guru dan pendidikan berkarakter


Psikologi Karakter
Karakter, dalam American Herritage Dictionary (2000), merupakan kualitas sifat,ciri,atribut,serta kemampuan khas yang dimiliki individu yang membedakannya dari pribadi yang lain. Karakter berasal dari bahasa Yunani kharakter yang berakar dari diksi kharassein yang berarti memahat atau mengukir (to inscribe/to engrave). Karakter mendapatkan porsi kajiancukupbesardalamkhasanah psikologi yang mempelajari jiwa manusia. Dalam bahasa psikologi Gordon W Allport, karakter bukan sekadar sebuah kepribadian (personality) karena karakter sesungguhnya adalah kepribadian yang ternilai (personality evaluated).
Karakter digunakan ketika kita mengenakan norma dan melakukan penilaian atas kepribadian (Suryabrata, 1983). Dengan demikian, karakter selalu terhubung dengan konteks moral, etika, dan integritas. Menurut Compton (2005), karakter tersaji dalam kebajikan-kebajikan seseorang,kemauan untuk berperilaku sesuai dengan norma kebajikan tersebut (meskipun dalam situasi sosial yang sulit) serta kemampuan untuk berempati.Karakter personal positif inilah yang sesungguhnya dibutuhkan untuk menata kembali Indonesia meski pemerolehannya sungguh tidak sederhana. Skipton Leonard dalam Consulting Psychology Journal (1997) menegaskan bahwa karakter harus dipelajari dan dibangun sepanjang waktu melalui pengalaman, pelatihan, dan sosialisasi. Dalam konteks inilah guru memiliki posisi peran yang sangat strategis sekaligus amanat teramat mulia untuk menumbuhkembangkan karakter anak didik sehingga menjadi pribadi unggul.
Tantangan Berat
Pendidikan karakter sesungguhnya adalah tanggung jawab kita bersama sebagai sebuah bangsa. Namun dalam konteks pendidikan formal,tanpa kiprah guru yang memang dititahkan sebagai pendidik profesional,kepada siapa lagi pendidikan karakter secara formal akan dipasrahkan? Barangkali tugas menyuluh peradaban yang diamanatkan kepadagurumemangtidaksederhana, tetapi juga berat. Menilik maknanya, menurut ensiklopedia Wikipedia (2010), guru berakar dari bahasa Sanskerta yang arti harfiahnya adalah “berat”.
Meskipun berat,sebagai bagian dari tanggung jawab peradaban, tugas ini harus tertunaikan dengan sempurna.Terlebih,seiring dengan sertifikasi yang menempatkan guru dalam status pendidik profesional dengan segenap fasilitas, tunjangan, danprivileseyangmenggiurkan, ekspektasi publik terhadap kinerja guru meningkat drastis. Guru, selain dituntut mencerdaskan siswa dari sisi akademis, juga digadang-gadang (diharapkan) sebagai figur yang berperan sentral dalam pendidikan karakter di sekolah.Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya,setidaknya guru bisa berperan melalui beberapa strategi pembentukan karakter. Pertama,memasukkanpendidikan karakter ke dalam kurikulum.
Tentu saja ini menyangkut kebijakan dari pemerintah untuk secara serius mengagendakan perbaikan karakter anak bangsa melalui pendidikan. Tidak sekadar mengedepankan akademik, tetapi juga aspek kepribadian. Kedua, memasukkan muatan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Dunia pendidikan biasa menyebutnya sebagai kurikulum tersembunyi (hidden curricullum). Jika memang serius digarap, rasa-rasanya tidak ada satu pun mata pelajaran yang tidak bisa dimasuki dan diintegrasikan dengan agenda pembentukan karakter. Dan ketiga, memberikan keteladanan. Strategi ketiga ini, sungguh, gampang-gampang susah. Dalam tradisi falsafah Jawa, guru menyandang makna yang tidak sederhana.
Guru adalah keratabasa, akronim,dari kata digugudan ditiru. Digugu mengandung arti dipercaya, diikuti,dan dilaksanakan petunjuk serta perintahnya. Sementara ditirubermakna dicontoh sebagai anutan muridnya. Dalam perspektif psikologis, guru adalah role model yang perlakunya akan diimitasi (ditiru) oleh muridnya. Pada ranah yang lebih tinggi, murid bahkan akan mengidentifikasikan diri dengan gurunya,menginternalisasi sistem nilai, perilaku, dan pola kebiasaan sang guru. Dengan demikian, karakter anak didik sesungguhnya akan sangat tergantung dari karakter pendidiknya. Apabila kita berkenan memperhatikan peribahasa klasik yang diajarkan oleh guru-guru kita,“guru kencing berdiri,murid kencing berlari”, tanggung jawab seorang guru sesungguhnya akan jauh lebih berat.
Guru benar-benar dituntut untuk senantiasa menjaga karakternya dan semestinya pantang tumibo ing panggawe nguthuh (jatuh dalam perilaku yang menghinakan diri).Akan sangat fatal apabila guru memiliki karakter buruk,mulai “kencing berdiri”, karena murid cenderung akan jauh lebih piawai “berlari”dalam urusan keburukan karakter. Dahulu, begitu trenyuh kita ketika mendengar cerita tentang perjuangan guru untuk menjalani kehidupan dengan kesejahteraan guru yang sangat memprihatinkan. Iwan Fals beberapa dekade silam menggambarkan sosoknya dengan sempurna dalam satire lagu Oemar Bakri yang jujur berbakti, tapi makan hati karena gaji yang dikebiri.

penerapan model karakter di sekolah

Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah terdapat empat tawaran model penerapan, yaitu
  • 1) model otonomi dengan menempatkan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri,

  •  2) model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakter-karakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran,

  • 3) model ekstrakurikuler melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorintasi pembinaan karakter siswa, dan

  • 4) model kolaborasi dengan menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.

Model Otonom

Model otonomi yang memposisikan pendidikan karakter sebagai mata sebuah pelajaran tersendiri menghendaki adanya rumusan yang jelas seputar standar isi, kompetensi dasar, silabus, rencana pembelajaran, bahan ajar, metodologi dan evaluasi pembelajaran. Jadwal pelajaran dan alokasi waktu merupakan konsekuensi lain dari model ini. Sebagai sebuah mata pelajaran tersendiri pendidikan karakter akan lebih terstruktur dan terukur. Guru mempunyai otoritas yang luas dalam perencanaan dan membuat variasi program karena ada alokasi waktu yang dikhususkan untuk itu.
Namun demikian model ini dengan pendekatan formal dan struktural kurikulum dikhawatirkan lebih banyak menyentuh aspek kognitif siswa,tidak sampai pada aspek afektif dan perilaku. Model seperti ini biasanya mengasumsikan tanggung jawab pembentukan karakter hanya ada pada guru bidang studi sehingga keterlibatan guru lain sangat kecil. Pada akhirnya pendidikan karakter akal gagal karena hanya mengisi intelektual siswa tentang konsep-konsep kebaikan, sementara emosional dan spiritualnya tidak terisi.

Model Integrasi

Ada pun model ke dua yang mengintegrasikan pendidikan karakter dengan seluruh mata pelajaran ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pengajar karakter (character educator). Semua mata pelajaran diasumsikan memiliki misi moral dalam membentuk karakter positif siswa. Dengan model ini maka pendidikan karakter menjadi tanggung jawab kolektif seluruh komponen sekolah. Model ini dipandang lebih efektif dibandingkan dengan model pertama, namun memerlukan kesiapan, wawasan moral dan keteladanan dari seluruh guru. Satu hal yang lebih sulit dari pada pembelajaran karakter itu sendiri.  Pada sisi lain model ini juga menuntut kratifitas dan keberanian para guru dalam menyusun dan mengembangkan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Model Suplemen

Model ketiga yang menawarkan pelaksanaan pendidikan karakter melalui sebuah kegiatan di luar jam sekolah dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama melalui suatu kegiatan ekstrakurikuler yang dikelola oleh pihak sekolah dengan seorang penanggung jawab. Kedua, melalui kemitraan dengan lembaga lain yang memiliki kapabilitas dalam pembinaan karakter.
Model ini memiliki kelebihan berupa pengalaman kongkret yang dialami para siswa dalam pembentukan karakter. Ranah afektif dan perilaku siswa akan banyak tersentuh melalui berbagai kegiatan yang dirancang. Keterlibatan siswa dalam menggali nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan tersebut akan membuat pendidikan karakter memuaskan dan menyenangkan. Pada tahap ini sekolah menjalin kemitraan dengan keluarga dan masyarakat sekitar sekolah. Masyarakat dimaksud adalah keluarga, siswa, organisasi, tetangga, dan kelompok atau individu yang berpengaruh terhadap kesuksesan siswa di sekolah.

6 Tipe Kemitraan

Ada enam tipe kemitraan yang dapat dijalin oleh sekolah, yaitu
  • 1) parenting atau pengasuhan di mana orang tua mengkondisikan kondisi rumah agar membantu siswa dalam pembelajaran dan moralitas;

  • 2) communicating (komunikasi) untuk mengkomunikasikan program sekolah dan perkembangan siswa;

  • 3) volunteering yaitu mengajak keluarga dan masyarakat menjadi sukarelawan dalam pengembangan dan program sekolah;

  • 4) learning at home dengan melibatkan keluarga dalam aktifitas akademik, perencanaan tujuan dan pengambilan keputusan;

  • 5) decision making, masyarakat memiliki keterlibatan besar dalam pengambilan keputusan sekolah; dan

  • 6) collaborating with community. Pada tahap ini siswa, staf sekolah dan keluarga memberikan kontribusi dalam mebentuk masyarakat yang bermorak . Model ini menuntut alokasi waktu yang cukup banyak, variasi kegiatan yang muncul dari ide-ide kreatif pengelola, wawasan pendidikan moral yang memadai, dan kekompakkan dari guru pendamping.

Model Kolaborasi

Model terakhir berupa kolaborasi dari semua model merupakan upaya untuk mengoptimalkan kelebihan setiap model dan menutupi kekurangan masing-masing pada sisi lain. Dengan kata lain model ini merupakan sintesis dari model-model terdahulu. Pada model ini selain diposisikan sebagai mata pelajaran secara otonom, pendidikan karakter dipahami sebagai tanggung jawab sekolah bukan guru mata pelajaran semata. Karena merupakan tanggung jawab sekolah maka setiap aktifitas sekolah memiliki misi pembentukan karakter. Setiap mata pelajaran harus berkontribusi dalam pembentukan karakter dan penciptaan pola pikir moral yang progresif. Sekolah dipahami sebagai sebuah miniatur masyarakat sehingga semua komponen sekolah dan semua kegiatannya merupakan media-media pendidikan karakter. Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk membawa siswa ke dalam pengalaman nyata penerapan karakter, baik sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram maupun kegiatan insidentil sesuai dengan fenomena yang berkembangan di masyarakat.
Keempat model di atas dapat diumpamakan wadah yang memberikan ruang gerak pada pendidikan karakter. Selanjutnya agar gerak tersebut efektif dan efisien diperlukan pemilihan metode pembelajaran dalam upaya pembentukan karakter positif dalam diri siswa. Apa pun metode yang dipilih, hal yang harus digarisbawahi adalah pelibatan aspek kognitif, afektif dan perilaku siswa secara simultan. Sebagai antitesis terhadap metode pendidikan akhlak dan moral selama ini yang cenderung doktriner dan hanya menghidupkan aspek kognitif siswa, maka metode yang dibutuhkan adalah metode yang menghidupkan ketiga aspek tersebut dan membawa siswa ke dalam pengalaman nyata kehidupan berkarakter.

pendidikan karakter



indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen olehsoft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur,  jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.  Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik  (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif  tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimanapendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaantersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dankomponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta.  Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
  1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
  2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
  3. Menunjukkan sikap percaya diri;
  4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
  5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
  6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
  7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
  8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
  9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
  10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
  11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
  12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
  13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
  14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
  15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
  16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
  17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
  18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
  19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
  20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
  21. Memiliki jiwa kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan  karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.