Senin, 14 Februari 2011

penerapan model karakter di sekolah

Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter di sekolah terdapat empat tawaran model penerapan, yaitu
  • 1) model otonomi dengan menempatkan pendidikan karakter sebagai mata pelajaran tersendiri,

  •  2) model integrasi dengan menyatukan nilai-nilai dan karakter-karakter yang akan dibentuk dalam setiap mata pelajaran,

  • 3) model ekstrakurikuler melalui sebuah kegiatan tambahan yang berorintasi pembinaan karakter siswa, dan

  • 4) model kolaborasi dengan menggabungkan ketiga model tersebut dalam seluruh kegiatan sekolah.

Model Otonom

Model otonomi yang memposisikan pendidikan karakter sebagai mata sebuah pelajaran tersendiri menghendaki adanya rumusan yang jelas seputar standar isi, kompetensi dasar, silabus, rencana pembelajaran, bahan ajar, metodologi dan evaluasi pembelajaran. Jadwal pelajaran dan alokasi waktu merupakan konsekuensi lain dari model ini. Sebagai sebuah mata pelajaran tersendiri pendidikan karakter akan lebih terstruktur dan terukur. Guru mempunyai otoritas yang luas dalam perencanaan dan membuat variasi program karena ada alokasi waktu yang dikhususkan untuk itu.
Namun demikian model ini dengan pendekatan formal dan struktural kurikulum dikhawatirkan lebih banyak menyentuh aspek kognitif siswa,tidak sampai pada aspek afektif dan perilaku. Model seperti ini biasanya mengasumsikan tanggung jawab pembentukan karakter hanya ada pada guru bidang studi sehingga keterlibatan guru lain sangat kecil. Pada akhirnya pendidikan karakter akal gagal karena hanya mengisi intelektual siswa tentang konsep-konsep kebaikan, sementara emosional dan spiritualnya tidak terisi.

Model Integrasi

Ada pun model ke dua yang mengintegrasikan pendidikan karakter dengan seluruh mata pelajaran ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pengajar karakter (character educator). Semua mata pelajaran diasumsikan memiliki misi moral dalam membentuk karakter positif siswa. Dengan model ini maka pendidikan karakter menjadi tanggung jawab kolektif seluruh komponen sekolah. Model ini dipandang lebih efektif dibandingkan dengan model pertama, namun memerlukan kesiapan, wawasan moral dan keteladanan dari seluruh guru. Satu hal yang lebih sulit dari pada pembelajaran karakter itu sendiri.  Pada sisi lain model ini juga menuntut kratifitas dan keberanian para guru dalam menyusun dan mengembangkan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

Model Suplemen

Model ketiga yang menawarkan pelaksanaan pendidikan karakter melalui sebuah kegiatan di luar jam sekolah dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama melalui suatu kegiatan ekstrakurikuler yang dikelola oleh pihak sekolah dengan seorang penanggung jawab. Kedua, melalui kemitraan dengan lembaga lain yang memiliki kapabilitas dalam pembinaan karakter.
Model ini memiliki kelebihan berupa pengalaman kongkret yang dialami para siswa dalam pembentukan karakter. Ranah afektif dan perilaku siswa akan banyak tersentuh melalui berbagai kegiatan yang dirancang. Keterlibatan siswa dalam menggali nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan tersebut akan membuat pendidikan karakter memuaskan dan menyenangkan. Pada tahap ini sekolah menjalin kemitraan dengan keluarga dan masyarakat sekitar sekolah. Masyarakat dimaksud adalah keluarga, siswa, organisasi, tetangga, dan kelompok atau individu yang berpengaruh terhadap kesuksesan siswa di sekolah.

6 Tipe Kemitraan

Ada enam tipe kemitraan yang dapat dijalin oleh sekolah, yaitu
  • 1) parenting atau pengasuhan di mana orang tua mengkondisikan kondisi rumah agar membantu siswa dalam pembelajaran dan moralitas;

  • 2) communicating (komunikasi) untuk mengkomunikasikan program sekolah dan perkembangan siswa;

  • 3) volunteering yaitu mengajak keluarga dan masyarakat menjadi sukarelawan dalam pengembangan dan program sekolah;

  • 4) learning at home dengan melibatkan keluarga dalam aktifitas akademik, perencanaan tujuan dan pengambilan keputusan;

  • 5) decision making, masyarakat memiliki keterlibatan besar dalam pengambilan keputusan sekolah; dan

  • 6) collaborating with community. Pada tahap ini siswa, staf sekolah dan keluarga memberikan kontribusi dalam mebentuk masyarakat yang bermorak . Model ini menuntut alokasi waktu yang cukup banyak, variasi kegiatan yang muncul dari ide-ide kreatif pengelola, wawasan pendidikan moral yang memadai, dan kekompakkan dari guru pendamping.

Model Kolaborasi

Model terakhir berupa kolaborasi dari semua model merupakan upaya untuk mengoptimalkan kelebihan setiap model dan menutupi kekurangan masing-masing pada sisi lain. Dengan kata lain model ini merupakan sintesis dari model-model terdahulu. Pada model ini selain diposisikan sebagai mata pelajaran secara otonom, pendidikan karakter dipahami sebagai tanggung jawab sekolah bukan guru mata pelajaran semata. Karena merupakan tanggung jawab sekolah maka setiap aktifitas sekolah memiliki misi pembentukan karakter. Setiap mata pelajaran harus berkontribusi dalam pembentukan karakter dan penciptaan pola pikir moral yang progresif. Sekolah dipahami sebagai sebuah miniatur masyarakat sehingga semua komponen sekolah dan semua kegiatannya merupakan media-media pendidikan karakter. Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk membawa siswa ke dalam pengalaman nyata penerapan karakter, baik sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram maupun kegiatan insidentil sesuai dengan fenomena yang berkembangan di masyarakat.
Keempat model di atas dapat diumpamakan wadah yang memberikan ruang gerak pada pendidikan karakter. Selanjutnya agar gerak tersebut efektif dan efisien diperlukan pemilihan metode pembelajaran dalam upaya pembentukan karakter positif dalam diri siswa. Apa pun metode yang dipilih, hal yang harus digarisbawahi adalah pelibatan aspek kognitif, afektif dan perilaku siswa secara simultan. Sebagai antitesis terhadap metode pendidikan akhlak dan moral selama ini yang cenderung doktriner dan hanya menghidupkan aspek kognitif siswa, maka metode yang dibutuhkan adalah metode yang menghidupkan ketiga aspek tersebut dan membawa siswa ke dalam pengalaman nyata kehidupan berkarakter.