Senin, 14 Februari 2011

guru dan pendidikan berkarakter


Psikologi Karakter
Karakter, dalam American Herritage Dictionary (2000), merupakan kualitas sifat,ciri,atribut,serta kemampuan khas yang dimiliki individu yang membedakannya dari pribadi yang lain. Karakter berasal dari bahasa Yunani kharakter yang berakar dari diksi kharassein yang berarti memahat atau mengukir (to inscribe/to engrave). Karakter mendapatkan porsi kajiancukupbesardalamkhasanah psikologi yang mempelajari jiwa manusia. Dalam bahasa psikologi Gordon W Allport, karakter bukan sekadar sebuah kepribadian (personality) karena karakter sesungguhnya adalah kepribadian yang ternilai (personality evaluated).
Karakter digunakan ketika kita mengenakan norma dan melakukan penilaian atas kepribadian (Suryabrata, 1983). Dengan demikian, karakter selalu terhubung dengan konteks moral, etika, dan integritas. Menurut Compton (2005), karakter tersaji dalam kebajikan-kebajikan seseorang,kemauan untuk berperilaku sesuai dengan norma kebajikan tersebut (meskipun dalam situasi sosial yang sulit) serta kemampuan untuk berempati.Karakter personal positif inilah yang sesungguhnya dibutuhkan untuk menata kembali Indonesia meski pemerolehannya sungguh tidak sederhana. Skipton Leonard dalam Consulting Psychology Journal (1997) menegaskan bahwa karakter harus dipelajari dan dibangun sepanjang waktu melalui pengalaman, pelatihan, dan sosialisasi. Dalam konteks inilah guru memiliki posisi peran yang sangat strategis sekaligus amanat teramat mulia untuk menumbuhkembangkan karakter anak didik sehingga menjadi pribadi unggul.
Tantangan Berat
Pendidikan karakter sesungguhnya adalah tanggung jawab kita bersama sebagai sebuah bangsa. Namun dalam konteks pendidikan formal,tanpa kiprah guru yang memang dititahkan sebagai pendidik profesional,kepada siapa lagi pendidikan karakter secara formal akan dipasrahkan? Barangkali tugas menyuluh peradaban yang diamanatkan kepadagurumemangtidaksederhana, tetapi juga berat. Menilik maknanya, menurut ensiklopedia Wikipedia (2010), guru berakar dari bahasa Sanskerta yang arti harfiahnya adalah “berat”.
Meskipun berat,sebagai bagian dari tanggung jawab peradaban, tugas ini harus tertunaikan dengan sempurna.Terlebih,seiring dengan sertifikasi yang menempatkan guru dalam status pendidik profesional dengan segenap fasilitas, tunjangan, danprivileseyangmenggiurkan, ekspektasi publik terhadap kinerja guru meningkat drastis. Guru, selain dituntut mencerdaskan siswa dari sisi akademis, juga digadang-gadang (diharapkan) sebagai figur yang berperan sentral dalam pendidikan karakter di sekolah.Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya,setidaknya guru bisa berperan melalui beberapa strategi pembentukan karakter. Pertama,memasukkanpendidikan karakter ke dalam kurikulum.
Tentu saja ini menyangkut kebijakan dari pemerintah untuk secara serius mengagendakan perbaikan karakter anak bangsa melalui pendidikan. Tidak sekadar mengedepankan akademik, tetapi juga aspek kepribadian. Kedua, memasukkan muatan pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Dunia pendidikan biasa menyebutnya sebagai kurikulum tersembunyi (hidden curricullum). Jika memang serius digarap, rasa-rasanya tidak ada satu pun mata pelajaran yang tidak bisa dimasuki dan diintegrasikan dengan agenda pembentukan karakter. Dan ketiga, memberikan keteladanan. Strategi ketiga ini, sungguh, gampang-gampang susah. Dalam tradisi falsafah Jawa, guru menyandang makna yang tidak sederhana.
Guru adalah keratabasa, akronim,dari kata digugudan ditiru. Digugu mengandung arti dipercaya, diikuti,dan dilaksanakan petunjuk serta perintahnya. Sementara ditirubermakna dicontoh sebagai anutan muridnya. Dalam perspektif psikologis, guru adalah role model yang perlakunya akan diimitasi (ditiru) oleh muridnya. Pada ranah yang lebih tinggi, murid bahkan akan mengidentifikasikan diri dengan gurunya,menginternalisasi sistem nilai, perilaku, dan pola kebiasaan sang guru. Dengan demikian, karakter anak didik sesungguhnya akan sangat tergantung dari karakter pendidiknya. Apabila kita berkenan memperhatikan peribahasa klasik yang diajarkan oleh guru-guru kita,“guru kencing berdiri,murid kencing berlari”, tanggung jawab seorang guru sesungguhnya akan jauh lebih berat.
Guru benar-benar dituntut untuk senantiasa menjaga karakternya dan semestinya pantang tumibo ing panggawe nguthuh (jatuh dalam perilaku yang menghinakan diri).Akan sangat fatal apabila guru memiliki karakter buruk,mulai “kencing berdiri”, karena murid cenderung akan jauh lebih piawai “berlari”dalam urusan keburukan karakter. Dahulu, begitu trenyuh kita ketika mendengar cerita tentang perjuangan guru untuk menjalani kehidupan dengan kesejahteraan guru yang sangat memprihatinkan. Iwan Fals beberapa dekade silam menggambarkan sosoknya dengan sempurna dalam satire lagu Oemar Bakri yang jujur berbakti, tapi makan hati karena gaji yang dikebiri.