Sabtu, 10 Desember 2011

PENDEKATAN MONTESSORI DALAM PENDIDIKAN JASMAN

PENDEKATAN MONTESSORI DALAM PENDIDIKAN JASMANI
 Metode Montessori adalah sebuah metode pendidikan bagi anak yang dalam
penyusunannnya berdasarkan pada teori perkembangan anak. Karakteristik dari metode ini
adalah menekankan pada aktivitas yang dimunculkan oleh diri anak dan menekankan pada
adaptasi lingkungan belajar anak pada level perkembangannya, dan peran dari aktivitas fisik
dalam menyerap konsep pembelajaran dan kemampuan praktis.
Metode montessori mempunyai beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan metode
tradisional. Akan tetapi untuk bisa dilaksanakan secara optimal sebagai metode pembelajaran
dalam pendidikan jasmani, ada beberapa hal dari motode montessori yang perlu dikembangkan
lebih lanjut, diantaranya yaitu, unsur aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak.


Pada masa sekarang ini televisi dan komputer menjadi konsumsi anak sehari-hari sehingga
secara langsung akan mengurangi waktu anak untuk melakukan berbagai macam aktivitas
terutama dalam bentuk bermain, Grazini dalam (Centurymontessori.com,2007) menyatakan
adanya korelasi yang positif dari metode montessori untuk mengeliminir kecenderungan anak
pada masa sekarang ini, Grazini menjelaskan bahwa montessori menggunakan istilah natural
gymnastics movement untuk menyatakan latihan yang esensial seperti berdiri dan berdiri dengan
sikap yang baik, berjalan dan mengembangkan keterampilan gerakan berjalan, berlari, melompat,
mengangkat sesuatu dengan berat tertentu, mengembangkan keseimbangan kekuatan,dll. Kita
dapat menemukan berbagai macam aktivitas menurut Montessori dalam kegiatan sehari-hari
anak seperti layaknya anak tersebut berkomunikasi menggunakana bahasa verbal, atau dalam
istilah lain dinyatakan sebagai gera dasar fundamental anak. Melalui kurikulum pendidikan
jasmani dan kesehatan, para siswa akan mengembangkan pemahaman atas pentingnya kebugaran
jasmani, kesehatan dan faktor-faktor yang mendukung komitmen pribadi anak untuk melakukan
aktivitas fisik dan memahami pola hidup sehat, mengembangkan keterampilan gerak dasar yang
mereka punyai untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik dalam hidup mereka.
Dalam pembelajaran Montessori baik pendidikan jasmani maupun seni sangatlah penting
untuk mengembangkan kesehatan anak dan menerapkan jalan yang penting bagi perkembangan
anak terutama utuk menepelajari keterampilan baru. Penelitian yang dilakukan pada
perkembangan sisetem syaraf menunjukkan pentingnya penyediaan pengalaman fisik dan kreatif
untuk mengoptimalkan perkembangan otak.(Guelphmontessori.com,2007). Pengalaman fisik
(aktivitas menggunakan otot-otot besar), bila dilihat dari perbandingan antara metode
pembelajaran Montessori dan tradisional yang telah disampaikan diatas sebenarnya tidak terlalu
menonjol, maka dari itu dalam makalah ini metode Montessori akan dicoba untuk dikembangkan
kearah pendidikan jasmani yang sesuai dengan muatan kurikulum baik di taman kanak-kanak
ataupun sekolah dasar.

Bila kita tinjau dari muatan kurikulum penjas yang ada di TK ataupun di SD kita akan
menjumpai berbagai macam aktivitas. Diantaranya permainan dan olahraga, aktivitas
pengembangan, ritmik, akuatik, senam,dll. Berbagai macam aktivitas tersebut kemudian kita
coba kemas kedalam sebuah metode berdasar metode pembelajaran montessori. Salah satu
metode pembelajaran dalam metode Montessori adalah metode sentral, yaitu, suatu metode
pembelajaran yang mengedepankan/berpusat pada siswa, akan tetapi guru tetap berperan sebagai
kontrol dalam kegiatan anak tersebut (Christianti: 2006), berikut ini akan dijelaskan adaptasi
dari metode sentral ke dalam suatu bentuk pembelajaran pendidikan jasmani di TK dan Sekolah
Dasar, adapun penjelasan untuk metode yang telah diadaptasi itu adalah sebagai berikut:

1. Dalam satu ruang kelas yang tersedia (apabila kita terapkan dalam pembelajaran penjas
ruang kelas itu tidak hanya terpaku pada ruangan didalam kelas saja akan tetapi bisa saja
dilakukan di halaman sekolah ataupun hall bahkan juga lapangan). Apabila dalam
Montessori dibuat empat sudut dengan disediakan empat meja, maka dalam metode yang
telah diadaptasi ini diganti dengan bentuk-bentuk permainan atau aktivitas lainnya dalam
koridor pendidikan jasmani, yang tentunya sesuai dengan muatan kurikulum yang ada.

2. Kemudian, apabila dalam metode Montessori, dalam kelas tersebut telah tersedia bentukbentuk
permaian yang mempunyai tujuan untuk pembelajaran tertentu misalnya,
memindahkan alphabet, menggambar,abstraksi matematika, menulis dalam papan pasir
yang telas disediakan, dll. Kemudian bentuk adaptasi dari pembelajaran ini adalah
dengan mengganti bentuk-bentuk permainan tersebut dengan permainan atau game dalam
wujud aktivitas fisik secara nyata, misalnya permaian beregu atapun permainan individu,
adapun bentuk-bentuk permainannnya dapat berupa permainan dengan menggunakan
rangakian simpai, kardus karton, bola besar dan kecil, tali, dll.

3. Guru hanya terlibat untuk memberikan pengarahan tentang cara atau bagaimana alat-alat
tersebut dimainkan akan tetapi sebagai contoh kecil saja, kemudian biarkan anak
berkreasi sendiri, untuk memperlakukan alat tesebut seperti apa, dan berikan juga
kebebasan pada anak untuk memilih jenis permaianan yang akan dilakukan. Dengan
catatan seluruh jenis permaian yan g disediakan itu semuanya bisa dimanfaatkan oleh
anak dengan baik, tanpa adanya dominasi pada salah satu bentuk permainan. Bisa juga
dengann membagi anak kedalam bebrapa kelompok sesuai dengan jumlah permainan
yang ada, kemudian anak diberi kebebasan untuk bermain pada tempat yang telah
ditentukan itu selkam waktu yang ditentukan oleh guru/pendamping juga, kemudian
apabila waktu yang ditentukan telah habis, maka anak diberi waktu untuk mencoba
bentuk permaian yang lain, akan tetapi cara ini dirasa kurang memberi kebebasan pada
anak, dan cenderung mengaburkan metode Montessori yang sebenarnya.

4. Tahapan selanjutnnya yaitu kontrol dalam hal ini terutama memberikan penguatan pada
anak yang berhasil sukses membuat, melakukan, dan bekerjasama dengan temantemannya
dalam melakukan suatu bentuk permaian, adapun bentuk penguatan yang
diberikan dapat beruapa penguatan verbal dan non verbal. Dan apabila ada anak yang
dirasa kurang mempunyai motivasi, keberanian, keyakinan, maka guru/ataupun
pendamping diharapkan bisa cepat bereaksi untuk memberikan penguatan motivasi.

5. Satu hal penting yang perlu diperhatikan oleh seorang guru penjas, biasanya anak akan
lebih termotivasi melakukan suatu permainan bila didalamnya terkandung nilai
kompetisi, hal ini tidak secara nyata disampaikan oleh Montessori dalam metode
pembelajarannya, maka dari itu dalam kegiatan ini diharapkan seorang guru mampu
menyusun berbagai bentuk permainan atau aktivitas fisik lainnya yang mempunyai nilai
kompetisi, karena dengan aktivitas tersebut diharapkan anak akan menjadi lebih aktif
dalam bergerak, bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya selin itu pula anak
akan berfikir dan mencoba untuk memaknai setiap kegiatan yang ada dalam
hubungannya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi serta nilai-nilai social
yang terkandung dalam aktivitas tersebut.

PENGEMBANGAN NILAI NILAI ETIKA DALAM PENDIDIKAN BERKARAKTER

Pengembangan nilai-nilai etika inti menyiratkan keyakinan tentang apa saja sifat-sifat karakter dan bagaimana caranya menjadi pribadi yang benar dan baik secara moral. Etika adalah aturan dasar yang digunakan untuk memperoleh seluruh nilai-nilai yang lain. Seluruh keyakinan tentang apa yang benar dan salah adalah nilai-nilai etika. Nilai etika inti bersifat universal dan objektif. Nilai-nilai yang menyediakan standar-standar karakter baik dan etika eksternal dan bersifat sepanjang masa. Nilai-nilai etika inti menurut Thomas Lickona adalah nilai-nilai yang menjunjung tinggi hak azasi manusia dan memperkokoh martabat manusia

.[1] Nilai-nilai yang berlaku berlaku secara universal di seluruh dunia. Nilai-nilai inti menyuguhkan tanggung jawab sipil dalam alam demokrasi demikian juga dipahami oleh pribadi-pribadi rasional dalam kebudayaan yang berbeda. Nilai-nilai moral itu mencakup kejujuran dan tanggungjawab yang menjadi kewajiban dalam bertindak sekalipun hal itu tidak kita inginkan.

[2] Secara universal nilai-nilai etika inti meliputi: kesalehan (piety), keterpercayaan (trustworthiness), hormat (respect), tanggung jawab (responsibility), keadilan (fairness), kepedulian (caring), dan kewarganegaraan (citizenship). Kesalehan berarti percaya kepada Tuhan dan memiliki komitmen untuk melaksanakannya, yakni ibadah kepada Tuhan, menghormati sesama manusia, dan melestarikan dan menjaga lingkungan sebagai habitat hidup. Keterpercayaan berarti menjadi percaya pada dan atau percaya dalam. Keterpercayaan meliputi sifat-sifat seperti integritas, keteguhan hati, kejujuran, kebenaran, ketulusan hati, terus terang, andal, menepati janji, dan loyalitas
.[3] Percaya adalah esensi bagi hubungan yang bermakna, abadi dan menghargai pertemanan, dan perkumpulan (asosiasi) sukses di perguruan tinggi, dalam aktivitas ekstra-kurikuler dan tempat kerja. Hormat memiliki makna yang setara dengan menghargai semua orang, menghargai martabat, privasi, dan kebebasan orang lain, santun, dan toleran atas perbedaan.

[4] Esensi hormat adalah menunjukkan kesungguhan dalam menghargai seseorang dan diri sendiri. Memperlakukan orang dengan hormat berarti menghargai keamanan dan kebahagiaan seseorang. Hormat bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah luhur (the golden rule), memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri. Tanggung jawab berarti menjadi pribadi yang terhormat, melakukan tugas secara bertanggung jawab, menjadi pribadi yang bertanggung jawab, melakukan tanggung jawab terbaik demi keunggulan, dan berlatih mengendalikan diri. 

[5] Tanggung jawab berarti kesadaran untuk melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang, mengetahui apa yang dilakukan (dan yang tidak dilakukan), dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Tanggung jawab secara literer berarti “kemampuan menanggapi”. Tanggung jawab dimaknai tugas atau kewajiban positif kita. Tanggung jawab memanggil kita untuk memenuhi komitmen, campur tangan ketika diperlukan untuk menegakkan apa yang benar, dan membenahi apa yang salah. Tanggung jawab menggambarkan tentang keandalan atau keterpercayaan, kemampuan untuk melakukan tugas-tugas dan memenuhi kewajiban baik di rumah, di tempat kerja, dan di lingkungan masyarakat atau komunitas. Seseorang dapat dinilai bertanggung jawab jika ia dapat melakukan pekerjaannya bagi kelompoknya. Terdapat tiga kategori tanggung jawab, yakni tanggung jawab yang berpusat pada norma atau “tanggung jawab kolektif” (bertindak sesuai dengan nilai-nilai kelompok tertentu), tanggung jawab empatik atau tanggung jawab personal (digerakkan oleh penderitaan lain), dan tanggung jawab prinsipal atau tanggung jawab sosial (komitmen terhadap etika universal)

.[6] Adil berarti bersifat atau bersikap tidak memihak dan konsisten terhadap orang lain, bersedia mendengar dan terbuka terhadap pandangan yang berbeda, dan mengikuti prosedur yang adil terhadap orang lain dalam situasi yang ada

.[7] Kepedulian adalah esensi dari nilai etika. Peduli terhadap nilai, terhadap cinta, kehormatan, memiliki penghargaan tinggi dan berperhatian terhadap makhluk lain, komunitas, kota, negara, dan dunia. Kepedulian, dan kebajikan rasa kasih, berjasa, berbuat baik, mementingkan orang lain, kedermawanan, murah hati, dan kebersamaan adalah esensi etika.

[8] Kewarganegaraan, dalam hal ini kewarganegaraan yang baik, berarti memiliki rasa hormat terhadap hukum dan adat istiadat suatu negara, menghargai bendera dan segala simbol, melakukan gotong-royong membantu komunitas, bermain sesuai aturan masyarakat, dan menghargai figur penguasa dan representasinya.

[9] Kewarganegaraan dimaknai sebagai tugas, hak, perilaku dan tanggung jawab warga negara. Tidak satu pun dari nilai-nilai inti itu dapat diajarkan secara terpisah, hanya dalam suatu kombinasi dan penyatuan ke seluruh mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi dapat memberi hasil positif. Oleh karenanya, suatu pendekatan sistem diperlukan untuknya.

[1]Thomas Lickona, ‘‘The Return of Character Education,’’ dalam Educational Leadership, Vol. 51, No. 3, 1993, 6–11 [2]Thomas Lickona, Educating for Character, New York: Bantam Books, 1991. [3]F. Clark Power et al., Moral Education: A Handbook, Volume 1 & 2, Westport: Praeger Publishers, 2008, 24. [4]Power, 2008, 24. [5]Power, 2008, 24. [6]Power, 2008, 384-5. [7]Power, 2008, 24. [8]Power, 2008, 24. [9]Power, 2008, 24.