Jumat, 09 Desember 2011

MODEL PENDIDIKAN KOOPERATIF


Model Pendidikan Kooperatif

a. Tiga Struktur Tujuan dalam Penjas: Kompetitif, Individual, dan Kooperatif


Untuk memaksimalkan pembelajaran, guru pendidikan jasmani biasanya harus menetapkan struktur tujuan yang mana yang akan digunakan untuk menghasilkan pencapaian tujuan bagi sebanyak mungkin siswa. Struktur tujuan adalah cara siswa berinteraksi secara verbal maupun secara fisik dengan teman sendiri atau dengan guru ketika terlibat dalam pembelajaran. Keputusan yang baik tentang tujuan mengarah langsung pada pencapaian hasil pendidikan jasmani, walaupun sering diabaikan oleh kebanyakan guru penjas.
Pada dasarnya, terdapat tiga struktur tujuan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu kompetitif, individual, dan kooperatif. Berikut akan dijelaskan masing-masing struktur tujuan tersebut.

1) Struktur Tujuan Kompetitif

Pertandingan regu dan perlombaan adalah dua contoh dari pembelajaran penjas yang menggunakan struktur tujuan kompetitif. Aktivitas pertandingan ini biasanya dikategorikan sebagai format “zero sum” di mana ada satu pemenang dan satu yang kalah, atau berformat “negative sum” dengan satu pemenang dan banyak yang kalah. Kategori lain bersifat lomba yang meningkat berkelanjutan (kontinjensi), di mana kelangsungan keikutsertaan ditentukan oleh keberhasilan yang tidak terputus. Contoh kategori ini dapat dilihat dalam lomba lompat tinggi, ketika pelompat yang tidak berhasil melalui ketinggian tertentu harus berhenti atau keluar dari lomba.
Dalam pembelajaran yang berstruktur kompetitif, siswa bergantung secara negatif kepada yang lain. Ketergantungan negatif terjadi ketika keberhasilan seorang siswa atau sekelompok siswa terkait erat dengan ketidakberhasilan siswa atau sekelompok siswa lain. Jenis ketergantungan demikian sangat nyata terlihat ketika siswa berlomba dalam lompat tinggi atau beberapa nomor atletik lainnya. Seorang siswa dapat melakukan yang terbaik ketika siswa yang lain tidak bisa menjadi yang terbaik.
Beberapa hasil positif biasanya dipercayai guru dalam penggunaan struktur tujuan tersebut dalam pendidikan jasmani. Asumsi utamanya menunjuk pada kepercayaan bahwa mahluk hidup termasuk manusia memang memiliki kecenderungan bawaan untuk berkompetisi. Dan karenanya, harus belajar berkompetisi agar bisa sukses dalam dunia yang semakin kompetitif ini. Beberapa ahli umumnya menghubungkan kompetisi dengan hasil-hasil seperti berikut:
• Perkembangan karakter,
• Peningkatan self esteem dan self confidence,
• Motivasi untuk sukses
• Pemantapan keunggulan sebagai tujuan,
• Mempertahankan minat keikutsertaan,
• Rasa keberhasilan pribadi setelah mengalahkan orang lain,

Cara berpikir alternatif tentang kompetisi dan pengaruhnya pada pembelajaran timbul ketika asumsi dan hasil yang berbeda mulai diperhatikan oleh kita. Cukup menarik menemukan fakta bahwa kebanyakan interaksi harian dalam hidup lebih bersifat kooperatif, tidak kompetitif. Buktinya kita lebih sering bergantung pada peranan orang di luar diri kita.
Di samping itu, kompetisi dengan sifat sangat bergantungnya pada standar (misalnya, peraturan, atau peralatan), justru menghasilkan situasi yang kurang diharapkan pada banyak siswa, sebab mereka tidaklah bersifat standar. Tetapi, mereka lebih bersifat heterogen dalam berbagai hal: kemampuan, minat, pengalaman, dan kematangan. Dengan kata lain, perbedaan individual siswa tidak sejalan dengan persyaratan yang dibutuhkan untuk kompetisi.
Akibatnya, kompetisi dapat menjadi sebuah pengalaman yang menghambat pembelajaran bagi banyak siswa. Apalagi, karena tingginya tingkat kegagalan yang ditemui dalam kompetisi, hanya mereka yang mempunyai kesempatan untuk berhasil sajalah yang termotivasi. Karenanya, kompetisi hanya tepat bagi sekelompok siswa terpilih dalam satu kelas yang menunjukkan tingkat keterampilan dan kebugaran jasmani yang sama serta memilih untuk membandingkan penampilannya dengan orang lain. Beberapa studi malah menunjukkan bahwa aktivitas kompetitif membatasi kesempatan belajar siswa.
Seperti juga dilansir oleh beberapa pengamatan, keikutsertaan dalam aktivitas kompetisi tradisional tidak memberikan kesempatan pada semua siswa untuk berlatih, menguasai, dan memperhalus keterampilan yang diperlukan dalam partisipasi mereka. Dengan kata lain, menggunakan aktivitas pendidikan jasmani format kompetitif dapat menjadi penghalang pada pembelajaran siswa.

2) Struktur Tujuan Individual
Program Penjas pun terkadang menyandingkan struktur tujuan individual di dalamnya. Pembelajaran untuk cabang atau jenis olahraga seperti senam, latihan kebugaran, senam aerobik, atau renang, adalah beberapa contoh pembelajaran berformat individual.
Pada saat pembelajaran individual, siswa biasanya tidak saling berhubungan dan tidak saling menggantungkan diri dengan siswa lain. Ketidakbergantungan tersebut didefinisikan sebagai tidak adanya hubungan kerja antara individu selama berusaha mencapai tujuan pembelajarannya. Selama pembelajaran individual, pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak mempengaruhi pencapaian tujuan dari siswa yang lain. Demikian juga sebaliknya, tidak adanya usaha pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak juga mempengaruhi ada atau tidak adanya usaha dari siswa lain.
Saling ketidakbergantungan demikian dapat diamati ketika seorang siswa sedang berusaha melakukan sebanyak mungkin gerakan push ups dalam waktu 30 detik. Pencapaian siswa tersebut tidak ada kaitannya dengan pencapaian atau tidak adanya pencapaian dari siswa lain. Siswa bekerja atau berlatih sendiri; interaksi di antara siswa tidak dipandang perlu atau didorong secara sengaja.
Pembelajaran individual dalam pendidikan jasmani memang mempunyai benang sejarah yang cukup panjang. Program penjas yang pada masa-masa awal perkembangannya banyak menekankan pada latihan pribadi (individual) seperti pada senam, atletik, atau keterampilan memainkan bola (meskipun pelaksanaannya dilakukan bersama-sama). Program pendidikan gerak yang didasarkan pada teori gerak dari Rudolf Laban merupakan kelanjutan dari pembelajaran individual. Analisis dari Locke tentang individualisasi dalam penjas juga merupakan penguat dari pembelajaran individual.
Keyakinan bahwa usaha dan produktivitas hasil dari pembelajaran individual merupakan hal yang baik sudah diterima secara umum. Hasil-hasil seperti di bawah ini umumnya diyakini sebagai kelebihan dari pembelajaran individual:
• Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa,
• Memerlukan keterlibatan dari guru yang minimal,
• Pembelajaran individual meningkatkan pencapaian tujuan,
• Semua siswa mengalami keberhasilan,
• Pembelajaran individual menghilangkan persoalan sosial,
• Identitas dan karakter pribadi berkembang melalui kerja mandiri,
• Pembelajaran individual meningkatkan disiplin pribadi,
• Pembelajaran individual menghilangkan masalah kedisiplinan kelompok.

Namun demikian, banyak juga para ahli yang meragukan bahwa pembelajaran individual benar-benar efektif mengembangkan sifat-sifat di atas. Dari pengamatan, lebih banyak hal kontradiktif dari hasil di atas yang dapat ditemukan.
Pembelajaran individual, meskipun dipandang tepat untuk situasi tertentu, namun biasanya tidak berhasil mencapai hasil-hasil di atas bagi umumnya siswa. Pembelajaran individual tidak mendukung interaksi interpersonal yang positif di antara siswa karena siswa tidak diharuskan untuk berinteraksi. Diragukan juga bahwa pembelajaran individual dapat mengeliminir masalah sosial ketika siswa dipisahkan dari kegiatan temannya, karena saling ejek, pelabelan stereotipe, dan kecurigaan antar siswa tetap akan dapat berkembang.

3) Struktur Tujuan Kooperatif

Suatu contoh dari aktivitas penjas yang menggunakan struktur tujuan kooperatif adalah aktivitas mengumpulkan skor secara kolektif, di mana semua skor atau penampilan ditambahkan pada skor total dari kelompok. Ketika guru membangun struktur pembelajaran secara kooperatif, “saling-ketergantungan positif” berkembang di antara siswa. Pemahaman siswa bahwa mereka hanya dapat mencapai tujuan kalau siswa yang lain juga mencapai tujuan merupakan definisi yang tepat dari ketergantungan yang positif. Perasaan menjadi berada “pada sisi yang sama” adalah hasil dari struktur tujuan kooperatif.
Contoh lain dari ‘saling-ketergantungan positif’ yang lain dalam aktivitas penjas adalah permainan kelompok piramid kecil. Ketika guru menyajikan tugas untuk membangun piramid (standen) oleh lima orang siswa bersamaan, maka semua akan terlibat dalam keseimbangan dan saling mendukung, siswa secara positif saling tergantung karena setiap siswa harus menyumbang dengan keseimbangan dan dukungan, atau, kalau tidak, mereka tidak akan mencapai tujuan sama sekali. Guru yang mengajar dengan pembelajaran kooperatif akan banyak melihat perilaku-perilaku seperti ini: empati, memperhatikan, menolong, menyemangati, mengajar, membantu, mendengarkan, dsb. Dan guru memang harus mengharapkan tumbuhnya manfaat-manfaat demikian pada siswa melalui keikutsertaannya dalam penjas.