Model Hellison
Model Hellison adalah model pengembangan disiplin yang didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Untuk menerapkannya, pertama-tama, guru perlu memberikan pemahaman kepada para siswanya, bahwa rasa tanggung jawab itu berkembang sesuai tingkatannya. Adapun tingkatan tanggung jawab itu dapat ditunjukkan melalui perilaku-perilaku nyata yang dapat diidentifikasi secara mudah, terutama dalam proses pembelajaran penjas. Secara sederhana, tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahapan perkembangan
Tahap 0: Irresponsibility—menggambarkan siswa yang tidak termotivasi dan tidak disiplin. Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Dalam pelajaran penjas, perilaku tersebut terlihat dari:
• Tidak mengikuti pelajaran, malahan mengajak yang lain untuk berbuat serupa.
• Selalu mengejek teman yang tidak bisa melakukan.
• Tidak pernah mau berbagi giliran dalam menggunakan alat dengan kawan lain.
• Tidak pernah mendengarkan penjelasan guru.
Bahkan perilaku tersebut akan terbawa atau sering muncul dalam setting kahidupan anak di tempat yang berbeda, misalnya:
di rumah: menyalahkan orang lain
di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain
di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan
dalam Penjas: berebut dengan orang lain pada saat mendapatkan peralatan.
Tahap 1: Self Control—menggambarkan siswa yang tidak berpartisipasi atau yang tidak menunjukkan penguasaan atau perbaikan, tetapi mampu mengontrol perilakunya. Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya:
• Tidak mengikuti pelajaran, tetapi tetap ikut menghadiri dan memperhatikan pelajaran.
• Tidak mengejek teman,
• Tidak mempengaruhi teman untuk turut bolos.
Dalam setting lain, hal ini terlihat nyata dalam perilaku berikut:
di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya.
di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain
di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya.
dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus.
Tahap 2: Involvement—menggambarkan siswa yang menunjukkan kontrol diri dan terlibat dalam pelajaran. Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya:
• Selalu mengikuti pelajaran.
• Tidak mencari tempat teduh manakala semua anak tetap terlibat dalam kegiatan belajar.
• Tidak sembunyi-sembunyi untuk menghindari tugas atau giliran.
Sama halnya, dalam setting lain perilaku tahap ini akan terlihat dalam hal:
di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor
di tempat bermain: bermain dengan yang lain
di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan
dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa
Tahap 3: Self Direction—menggambarkan siswa yang belajar mengambil tanggung jawabnya lebih besar atas pilihannya sendiri dan mengaitkan pilihannya itu dengan identitas dirinya, siswa mampu belajar tanpa pengarahan dan pengawasan langsung. Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya:
• Selalu giat berlatih walaupun tidak diawasi guru,
• Selalu mencoba lagi walaupun tugas dianggap sulit,
• Meminta penjelasan dari guru manakala ada tugas yang tidak jelas.
• Ikut memberikan semangat pada kawan yang mengalami kesulitan.
Berkembang dalam setting yang berbeda, hal ini dapat terlihat sebagai berikut:
di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh
di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh
di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya
dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah.
Tahapan 4: Caring—menggambarkan siswa yang termotivasi untuk memperluas rasa tanggung jawabnya dengan bekerjasama, memberikan dukungan, memberikan perhatian, dan menolong siswa lain (Hellison, 1995). Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya:
• Selalu membantu guru dalam mempersiapkan alat.
• Selalu membantu teman yang mendapatkan kesulitan belajar.
• Mendukung penuh dan mendorong teman-teman untuk bersama-sama belajar dengan tekun.
Dalam bentuk lain, perilaku mereka akan terlihat lebih jelas seperti di bawah ini:
di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi.
di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain.
di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran.
dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas
Strategi pembelajaran
Untuk memaksimalkan hasil dari penerapan model Hellison tersebut, guru perlu mengikuti strategi yang tepat seperti di bawah ini:
Strategi Pengajaran Tanggung Jawab
• Teacher Talk—menjelaskan tahapan, menempatkan siswa, mengarahkan momen-momen penting dalam pembelajaran.
• Modeling—memberikan pemodelan pada sikap dan perilaku perkembangan.
• Reinforcement—setiap tindakan guru memperkuat sikap atau perilaku individu yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Reflection Time—waktu yang diberikan kepada siswa untuk memikirkan sikap dan perilaku yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Students Sharing—meminta siswa untuk memberikan pendapat tentang beberapa aspek dari pembelajaran.
• Specific Level-Related Strategies—kegiatan yang meningkatkan interaksi dengan tahapan yang sedang dijalani; misalnya penetapan target individu untuk membantu siswa yang berada di tahap 3; dan pengajaran berbalasan (reciprocal teaching) untuk membantu siswa yang berada di tahap 4 (Steinhardt, 1992; Hellison, 1984; Hellison, 1995).
Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan kelompoknya. Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kaulitas rasa tnggung jawab yang dikembangkannya.
3) Contoh Bentuk Latihan Levels of Affective Development
Pembinaan rasa tanggung jawab melalui pendekatan model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran Penjas dan berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga akhir tahun ajaran. Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab pribadi yang terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus diberikan yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh latihan dalam Levels of Affective Development sebagai berikut.
a) Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru menanyakan dan menyuruh siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level 0, level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil peralatan itu.
b) Pada saat belajar keterampilan baru (new skill), siswa disuruh bekerja pada level yang paling baik. Selanjutnya guru memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
c) Pada saat siswa berperilaku menyimpang, siswa tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas untuk memikirkan mengapa perilaku menyimpang adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa tahu perilaku siswa pada level 1 atau level yang lebih tinggi serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu berperilaku pada level yang lebih tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu untuk kembali mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
d) Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh itu untuk mengidentifikasi pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan tersebut serta bagaimana cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan tersebut.
e) Pada kasus kerja kelompok. Sebelum melakukannya guru dan siswa mendiskusikan bagaimana perilaku siswa pada level 4 dalam bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi adalah bagaimana bekerja sama dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level 1.
4) Evaluasi Levels of Affective Development
Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa tanggung jawab ini dan seringkali menjadi fokus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa tanggung jawab
e) wawancara dengan orang lain