Masih seperti pertama kali aku dilahirkan, nama ilham maulana seakan terekat erat sebagai identitas pertamaku, menginjak satu tahun anak ini terlihat aktif,gak mau diem, kata c mama,"waduh mau jadi pemain bola nii kayanya...'...dengan wajah polos dan tersenyum anak ini riang dipangku sang ibu..
wktu gak krasa ternyata anak yg memang senang dipanggil iam sudah beranjak gede, dia mulai menginjakan kaki nya di kelas pertama nya yaitu pada umur 7 tahun...wktu itu masih ingat dia satu2nya murid yg belum disunat.hehhehee...telatt ..
First day iam sekolah dirasakannya sangat menyenangkan banyak temen2 baru, ada juga temen2 sepermainannya,kata mama;" aa mah jgn sekolah di SD tp di MI aja biar pinter ngaji nya"
salahsatu yg membedakan seorang iam dari teman2 yg lainnya adalah setiap hari dia selalu membawa bola lusuh nya ke skolah, dikelas di main bola,diluar kelas apalagi, abis pulang sekolah lgsg ke lapangan.
hari harinya selalu disibukan dengan bemain bola..
aku dengan segala kekuranganku dititipkan oleh sang maha pencipta kepada sepasang suami istri,Padli adalah nama ayahku,hanyalah seorang supir angkot yangwaktu itu,berani meminang ibuku yg bernama lilis Rohmah,seorang gadis tulen yang pandai menjahit,berambut panjang nan cantik( pada wktu itu..ehheehe skrg juga masiihh cantik kok mom..)
akhirnya dengan segala kehendak yg maha berkehendak,mereka dipersatukan,membayangkan mereka berdua pada waktu muda seperti cerita di film galih dan ratna,ahhaaaa...
kata mama" aa mah klo nanti lulus MI jangan ke SMP, mending ke MTS biar bs ngajii sama tau akan agama"
ah alim mama, dengan polos nya aku menjawab,pasti ketmu sama huruf arab lagi..
------------ BERSAMBUNG-----------------
Rabu, 14 Desember 2011
Minggu, 11 Desember 2011
prosedur penelitian tindakan kelas
Yang dimaksud prosedur penelitian adalah langkah-langkah operasional baik yang
terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, observasi/evaluasi, maupun refleksi.
Langkah-langkah operasional tersebut bersumber dari kerangka konseptual yang
diuraikan pada bagian sebelumnya.
Perencanaan. Uraikan langkah-langkah kolaborasi yang dilakukan, fakta-fakta empiris
yang diperlukan dalam rangka tindakan, sosialisasi esensi tindakan dan skenario
pembelajaran yang akan dilaksanakan pada guru sejawat dan siswa, perangkatperangkat
pembelajaran yang perlu disiapkan dan dikembangkan, lembaran-lembaran
evaluasi dan instrumen lain berikut kriteria penilaian yang akan disiapkan dan
dikembangkan.
Pelaksanaan. Uraikan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan skenario yang
telah dikembangkan pada langkah perencanaan. Langkah-langkah pembelajaran ini
akan sesuai dengan hakikat teori yang mendasari strategi pembelajaran, atau sesuai
dengan sintaks model pembelajaran yang diadaptasi. Langkah-langkah pembelajaran
tersebut hendaknya dibuat secara rinci, karena akan mencerminkan kualitas proses
pembelajaran yang akan dihasilkan.
Observasi/Evaluasi. Observasi dilakukan terhadap interaksi-interaksi akademik yang
terjadi sebagai akibat tindakan yang dilakukan. Interaksi-interaksi yang dimaksud dapat
mencakup interaksi antara siswa dengan materi pelajaran, interaksi antar siswa,
interaksi antara siswa dengan guru. Oleh sebab itu, uraian secara jelas tindakan yang
dilakukan tertuju pada interaksi yang mana saja, bagaimana melakukan observasi,
seberapa sering obserbasi itu dilakukan, dan apa tujuan observasi tersebut. Observasi
yang utuh akan mencerminkan proses tindakan yang berlangsung. Untuk memperoleh
data yang lebih akurat, observasi sering dilengkapi dengan perekaman dengan tape atau
video. Evaluasi biasanya dilakukan untuk mengukur obyek produk, misalnya kualitas
proses pembelajaran, sikap siswa, kompetensi praktikal, atau tanggapan siswa. Untuk
itu, uraikan evaluasi yang dilakukan, jenisnya dan tujuannya, dan untuk mengukur apa
evaluasi itu dilakukan.
Refleksi. Hasil observasi dan evaluasi selanjutnya direfleksi tingkat ketercapaiannya
baik yang terkait dengan proses maupun terhadap hasil tindakan. Refleksi ini bertujuan
untuk memformulasikan kekuatan-kekuatan yang ditemukan, kelemahan-kelemahaman
dan atau hambatan-hambatan yang mengganjal upaya dalam pencapaian tujuan secara
optimal, dan respon siswa. Refleksi ini harus dijelaskan secara rinci. Tujuannya adalah
untuk melakukan adaptasi terhadap strategi/pendekatan/metode/model pembelajaran
yang diterapkan, lebih memantapkan perencanaan, dan langkah-langkah tindakan yang
lebih spesifik dalam rangka pelaksanaan tindakan selanjutnya.
terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, observasi/evaluasi, maupun refleksi.
Langkah-langkah operasional tersebut bersumber dari kerangka konseptual yang
diuraikan pada bagian sebelumnya.
Perencanaan. Uraikan langkah-langkah kolaborasi yang dilakukan, fakta-fakta empiris
yang diperlukan dalam rangka tindakan, sosialisasi esensi tindakan dan skenario
pembelajaran yang akan dilaksanakan pada guru sejawat dan siswa, perangkatperangkat
pembelajaran yang perlu disiapkan dan dikembangkan, lembaran-lembaran
evaluasi dan instrumen lain berikut kriteria penilaian yang akan disiapkan dan
dikembangkan.
Pelaksanaan. Uraikan langkah-langkah pembelajaran sesuai dengan skenario yang
telah dikembangkan pada langkah perencanaan. Langkah-langkah pembelajaran ini
akan sesuai dengan hakikat teori yang mendasari strategi pembelajaran, atau sesuai
dengan sintaks model pembelajaran yang diadaptasi. Langkah-langkah pembelajaran
tersebut hendaknya dibuat secara rinci, karena akan mencerminkan kualitas proses
pembelajaran yang akan dihasilkan.
Observasi/Evaluasi. Observasi dilakukan terhadap interaksi-interaksi akademik yang
terjadi sebagai akibat tindakan yang dilakukan. Interaksi-interaksi yang dimaksud dapat
mencakup interaksi antara siswa dengan materi pelajaran, interaksi antar siswa,
interaksi antara siswa dengan guru. Oleh sebab itu, uraian secara jelas tindakan yang
dilakukan tertuju pada interaksi yang mana saja, bagaimana melakukan observasi,
seberapa sering obserbasi itu dilakukan, dan apa tujuan observasi tersebut. Observasi
yang utuh akan mencerminkan proses tindakan yang berlangsung. Untuk memperoleh
data yang lebih akurat, observasi sering dilengkapi dengan perekaman dengan tape atau
video. Evaluasi biasanya dilakukan untuk mengukur obyek produk, misalnya kualitas
proses pembelajaran, sikap siswa, kompetensi praktikal, atau tanggapan siswa. Untuk
itu, uraikan evaluasi yang dilakukan, jenisnya dan tujuannya, dan untuk mengukur apa
evaluasi itu dilakukan.
Refleksi. Hasil observasi dan evaluasi selanjutnya direfleksi tingkat ketercapaiannya
baik yang terkait dengan proses maupun terhadap hasil tindakan. Refleksi ini bertujuan
untuk memformulasikan kekuatan-kekuatan yang ditemukan, kelemahan-kelemahaman
dan atau hambatan-hambatan yang mengganjal upaya dalam pencapaian tujuan secara
optimal, dan respon siswa. Refleksi ini harus dijelaskan secara rinci. Tujuannya adalah
untuk melakukan adaptasi terhadap strategi/pendekatan/metode/model pembelajaran
yang diterapkan, lebih memantapkan perencanaan, dan langkah-langkah tindakan yang
lebih spesifik dalam rangka pelaksanaan tindakan selanjutnya.
KARAKTERISTIK PENELITIAN TINDAKAN SEKOLAH
Karakteristik PTK yang sekaligus dapat membedakannya dengan penelitian formal
adalah sebagai berikut.
1. PTK merupakan prosedur penelitian di kelas yang dirancang untuk menanggulangi
masalah nyata yang dialami Guru berkaitan dengan siswa di kelas itu. Ini berarti, bahwa
rancangan penelitian diterapkan sepenuhnya di kelas itu, termasuk pengumpulan data,
analisis, penafsiran, pemaknaan, perolehan temuan, dan penerapan temuan. Semuanya
dilakukan di kelas dan dirasakan oleh kelas itu.
2. Metode PTK diterapkan secara kontekstual, dalam arti bahwa variabel-variabel yang
ditelaah selalu berkaitan dengan keadaan kelas itu sendiri. Dengan demikian, temuan
hanya berlaku untuk kelas itu sendiri dan tidak dapat digeneralisasi untuk kelas yang
lain. Temuan PTK hendaknya selalu diterapkan segera dan ditelaah kembali
efektivitasnya dalam kaitannya dengan keadaan dan suasana kelas itu.
3. PTK terarah pada suatu perbaikan atau peningkatan kualitas pembelajaran, dalam arti
bahwa hasil atau temuan PTK itu adalah pada diri Guru telah terjadi perubahan,
perbaikan, atau peningkatan sikap dan perbuatannya. PTK akan lebih berhasil jika ada
kerja sama antara Guru-Guru di sekolah, sehingga mereka dapat sharing permasalahan,
dan apabila penelitian telah dilakukan, selalu diadakan pembahasan perencanaan
tindakan yang dilakukan. Dengan demikain, PTK itu bersifat kolaborasi dan kooperatif.
4. PTK bersifat luwes dan mudah diadaptasi. Dengan demikian, maka cocok digunakan
dalam rangka pembaharuan dalam kegiatan kelas. Hal ini juga memungkinkan diterapkannya suatu hasil studi dengan segera dan penelaahan kembali secara berkesinambungan.
5. PTK banyak mengandalkan data yang diperoleh langsung atas refleksi diri peneliti.
Pada saat penelitian berlangsung Guru sendiri dibantu rekan lainnya mengumpulkan
informasi, menata informasi, membahasnya, mencatatnya, menilainya, dan sekaligus
melakukan tindakan-tindakan secara bertahap. Setiap tahap merupakan tindakan lanjut
tahap sebelumnya.
6. PTK sedikitnya ada kesamaan dengan penelitian eksperimen dalam hal percobaan
tindakan yang segera dilakukan dan ditelaah kembali efektivitasnya. Tetapi, PTK tidak
secara ketat memperdulikan pengendalian variabel yang mungkin mempengaruhi hasil
penelaahan. Oleh karena kaidah-kaidah dasar penelitian ilmiah dapat dipertahankan
terutama dalam pengambilan data, perolehan informasi, upaya untuk membangun pola
tindakan, rekomnedasi dan lain-lain, maka PTK tetap merupakan proses ilmiah.
7. PTK bersifat situasional dan spesisifik, yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk
studi kasus. Subyek penelitian sifatnya terbatas, tidak representatif untuk merumuskan
atau generalisasi. Penggunaan metoda statistik terbatas pada pendekatan deskriptif
tanpa inferensi.
adalah sebagai berikut.
1. PTK merupakan prosedur penelitian di kelas yang dirancang untuk menanggulangi
masalah nyata yang dialami Guru berkaitan dengan siswa di kelas itu. Ini berarti, bahwa
rancangan penelitian diterapkan sepenuhnya di kelas itu, termasuk pengumpulan data,
analisis, penafsiran, pemaknaan, perolehan temuan, dan penerapan temuan. Semuanya
dilakukan di kelas dan dirasakan oleh kelas itu.
2. Metode PTK diterapkan secara kontekstual, dalam arti bahwa variabel-variabel yang
ditelaah selalu berkaitan dengan keadaan kelas itu sendiri. Dengan demikian, temuan
hanya berlaku untuk kelas itu sendiri dan tidak dapat digeneralisasi untuk kelas yang
lain. Temuan PTK hendaknya selalu diterapkan segera dan ditelaah kembali
efektivitasnya dalam kaitannya dengan keadaan dan suasana kelas itu.
3. PTK terarah pada suatu perbaikan atau peningkatan kualitas pembelajaran, dalam arti
bahwa hasil atau temuan PTK itu adalah pada diri Guru telah terjadi perubahan,
perbaikan, atau peningkatan sikap dan perbuatannya. PTK akan lebih berhasil jika ada
kerja sama antara Guru-Guru di sekolah, sehingga mereka dapat sharing permasalahan,
dan apabila penelitian telah dilakukan, selalu diadakan pembahasan perencanaan
tindakan yang dilakukan. Dengan demikain, PTK itu bersifat kolaborasi dan kooperatif.
4. PTK bersifat luwes dan mudah diadaptasi. Dengan demikian, maka cocok digunakan
dalam rangka pembaharuan dalam kegiatan kelas. Hal ini juga memungkinkan diterapkannya suatu hasil studi dengan segera dan penelaahan kembali secara berkesinambungan.
5. PTK banyak mengandalkan data yang diperoleh langsung atas refleksi diri peneliti.
Pada saat penelitian berlangsung Guru sendiri dibantu rekan lainnya mengumpulkan
informasi, menata informasi, membahasnya, mencatatnya, menilainya, dan sekaligus
melakukan tindakan-tindakan secara bertahap. Setiap tahap merupakan tindakan lanjut
tahap sebelumnya.
6. PTK sedikitnya ada kesamaan dengan penelitian eksperimen dalam hal percobaan
tindakan yang segera dilakukan dan ditelaah kembali efektivitasnya. Tetapi, PTK tidak
secara ketat memperdulikan pengendalian variabel yang mungkin mempengaruhi hasil
penelaahan. Oleh karena kaidah-kaidah dasar penelitian ilmiah dapat dipertahankan
terutama dalam pengambilan data, perolehan informasi, upaya untuk membangun pola
tindakan, rekomnedasi dan lain-lain, maka PTK tetap merupakan proses ilmiah.
7. PTK bersifat situasional dan spesisifik, yang pada umumnya dilakukan dalam bentuk
studi kasus. Subyek penelitian sifatnya terbatas, tidak representatif untuk merumuskan
atau generalisasi. Penggunaan metoda statistik terbatas pada pendekatan deskriptif
tanpa inferensi.
Sabtu, 10 Desember 2011
PENDEKATAN MONTESSORI DALAM PENDIDIKAN JASMAN
PENDEKATAN MONTESSORI DALAM PENDIDIKAN JASMANI
Metode Montessori adalah sebuah metode pendidikan bagi anak yang dalam
penyusunannnya berdasarkan pada teori perkembangan anak. Karakteristik dari metode ini
adalah menekankan pada aktivitas yang dimunculkan oleh diri anak dan menekankan pada
adaptasi lingkungan belajar anak pada level perkembangannya, dan peran dari aktivitas fisik
dalam menyerap konsep pembelajaran dan kemampuan praktis.
Metode montessori mempunyai beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan metode
tradisional. Akan tetapi untuk bisa dilaksanakan secara optimal sebagai metode pembelajaran
dalam pendidikan jasmani, ada beberapa hal dari motode montessori yang perlu dikembangkan
lebih lanjut, diantaranya yaitu, unsur aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak.
penyusunannnya berdasarkan pada teori perkembangan anak. Karakteristik dari metode ini
adalah menekankan pada aktivitas yang dimunculkan oleh diri anak dan menekankan pada
adaptasi lingkungan belajar anak pada level perkembangannya, dan peran dari aktivitas fisik
dalam menyerap konsep pembelajaran dan kemampuan praktis.
Metode montessori mempunyai beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan metode
tradisional. Akan tetapi untuk bisa dilaksanakan secara optimal sebagai metode pembelajaran
dalam pendidikan jasmani, ada beberapa hal dari motode montessori yang perlu dikembangkan
lebih lanjut, diantaranya yaitu, unsur aktivitas fisik yang dilakukan oleh anak.
Pada masa sekarang ini televisi dan komputer menjadi konsumsi anak sehari-hari sehingga
secara langsung akan mengurangi waktu anak untuk melakukan berbagai macam aktivitas
terutama dalam bentuk bermain, Grazini dalam (Centurymontessori.com,2007) menyatakan
adanya korelasi yang positif dari metode montessori untuk mengeliminir kecenderungan anak
pada masa sekarang ini, Grazini menjelaskan bahwa montessori menggunakan istilah natural
gymnastics movement untuk menyatakan latihan yang esensial seperti berdiri dan berdiri dengan
sikap yang baik, berjalan dan mengembangkan keterampilan gerakan berjalan, berlari, melompat,
mengangkat sesuatu dengan berat tertentu, mengembangkan keseimbangan kekuatan,dll. Kita
dapat menemukan berbagai macam aktivitas menurut Montessori dalam kegiatan sehari-hari
anak seperti layaknya anak tersebut berkomunikasi menggunakana bahasa verbal, atau dalam
istilah lain dinyatakan sebagai gera dasar fundamental anak. Melalui kurikulum pendidikan
jasmani dan kesehatan, para siswa akan mengembangkan pemahaman atas pentingnya kebugaran
jasmani, kesehatan dan faktor-faktor yang mendukung komitmen pribadi anak untuk melakukan
aktivitas fisik dan memahami pola hidup sehat, mengembangkan keterampilan gerak dasar yang
mereka punyai untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik dalam hidup mereka.
Dalam pembelajaran Montessori baik pendidikan jasmani maupun seni sangatlah penting
untuk mengembangkan kesehatan anak dan menerapkan jalan yang penting bagi perkembangan
anak terutama utuk menepelajari keterampilan baru. Penelitian yang dilakukan pada
perkembangan sisetem syaraf menunjukkan pentingnya penyediaan pengalaman fisik dan kreatif
untuk mengoptimalkan perkembangan otak.(Guelphmontessori.com,2007). Pengalaman fisik
(aktivitas menggunakan otot-otot besar), bila dilihat dari perbandingan antara metode
pembelajaran Montessori dan tradisional yang telah disampaikan diatas sebenarnya tidak terlalu
menonjol, maka dari itu dalam makalah ini metode Montessori akan dicoba untuk dikembangkan
kearah pendidikan jasmani yang sesuai dengan muatan kurikulum baik di taman kanak-kanak
ataupun sekolah dasar.
Bila kita tinjau dari muatan kurikulum penjas yang ada di TK ataupun di SD kita akan
menjumpai berbagai macam aktivitas. Diantaranya permainan dan olahraga, aktivitas
pengembangan, ritmik, akuatik, senam,dll. Berbagai macam aktivitas tersebut kemudian kita
coba kemas kedalam sebuah metode berdasar metode pembelajaran montessori. Salah satu
metode pembelajaran dalam metode Montessori adalah metode sentral, yaitu, suatu metode
pembelajaran yang mengedepankan/berpusat pada siswa, akan tetapi guru tetap berperan sebagai
kontrol dalam kegiatan anak tersebut (Christianti: 2006), berikut ini akan dijelaskan adaptasi
dari metode sentral ke dalam suatu bentuk pembelajaran pendidikan jasmani di TK dan Sekolah
Dasar, adapun penjelasan untuk metode yang telah diadaptasi itu adalah sebagai berikut:
secara langsung akan mengurangi waktu anak untuk melakukan berbagai macam aktivitas
terutama dalam bentuk bermain, Grazini dalam (Centurymontessori.com,2007) menyatakan
adanya korelasi yang positif dari metode montessori untuk mengeliminir kecenderungan anak
pada masa sekarang ini, Grazini menjelaskan bahwa montessori menggunakan istilah natural
gymnastics movement untuk menyatakan latihan yang esensial seperti berdiri dan berdiri dengan
sikap yang baik, berjalan dan mengembangkan keterampilan gerakan berjalan, berlari, melompat,
mengangkat sesuatu dengan berat tertentu, mengembangkan keseimbangan kekuatan,dll. Kita
dapat menemukan berbagai macam aktivitas menurut Montessori dalam kegiatan sehari-hari
anak seperti layaknya anak tersebut berkomunikasi menggunakana bahasa verbal, atau dalam
istilah lain dinyatakan sebagai gera dasar fundamental anak. Melalui kurikulum pendidikan
jasmani dan kesehatan, para siswa akan mengembangkan pemahaman atas pentingnya kebugaran
jasmani, kesehatan dan faktor-faktor yang mendukung komitmen pribadi anak untuk melakukan
aktivitas fisik dan memahami pola hidup sehat, mengembangkan keterampilan gerak dasar yang
mereka punyai untuk berpartisipasi dalam aktivitas fisik dalam hidup mereka.
Dalam pembelajaran Montessori baik pendidikan jasmani maupun seni sangatlah penting
untuk mengembangkan kesehatan anak dan menerapkan jalan yang penting bagi perkembangan
anak terutama utuk menepelajari keterampilan baru. Penelitian yang dilakukan pada
perkembangan sisetem syaraf menunjukkan pentingnya penyediaan pengalaman fisik dan kreatif
untuk mengoptimalkan perkembangan otak.(Guelphmontessori.com,2007). Pengalaman fisik
(aktivitas menggunakan otot-otot besar), bila dilihat dari perbandingan antara metode
pembelajaran Montessori dan tradisional yang telah disampaikan diatas sebenarnya tidak terlalu
menonjol, maka dari itu dalam makalah ini metode Montessori akan dicoba untuk dikembangkan
kearah pendidikan jasmani yang sesuai dengan muatan kurikulum baik di taman kanak-kanak
ataupun sekolah dasar.
Bila kita tinjau dari muatan kurikulum penjas yang ada di TK ataupun di SD kita akan
menjumpai berbagai macam aktivitas. Diantaranya permainan dan olahraga, aktivitas
pengembangan, ritmik, akuatik, senam,dll. Berbagai macam aktivitas tersebut kemudian kita
coba kemas kedalam sebuah metode berdasar metode pembelajaran montessori. Salah satu
metode pembelajaran dalam metode Montessori adalah metode sentral, yaitu, suatu metode
pembelajaran yang mengedepankan/berpusat pada siswa, akan tetapi guru tetap berperan sebagai
kontrol dalam kegiatan anak tersebut (Christianti: 2006), berikut ini akan dijelaskan adaptasi
dari metode sentral ke dalam suatu bentuk pembelajaran pendidikan jasmani di TK dan Sekolah
Dasar, adapun penjelasan untuk metode yang telah diadaptasi itu adalah sebagai berikut:
1. Dalam satu ruang kelas yang tersedia (apabila kita terapkan dalam pembelajaran penjas
ruang kelas itu tidak hanya terpaku pada ruangan didalam kelas saja akan tetapi bisa saja
dilakukan di halaman sekolah ataupun hall bahkan juga lapangan). Apabila dalam
Montessori dibuat empat sudut dengan disediakan empat meja, maka dalam metode yang
telah diadaptasi ini diganti dengan bentuk-bentuk permainan atau aktivitas lainnya dalam
koridor pendidikan jasmani, yang tentunya sesuai dengan muatan kurikulum yang ada.
2. Kemudian, apabila dalam metode Montessori, dalam kelas tersebut telah tersedia bentukbentuk
permaian yang mempunyai tujuan untuk pembelajaran tertentu misalnya,
memindahkan alphabet, menggambar,abstraksi matematika, menulis dalam papan pasir
yang telas disediakan, dll. Kemudian bentuk adaptasi dari pembelajaran ini adalah
dengan mengganti bentuk-bentuk permainan tersebut dengan permainan atau game dalam
wujud aktivitas fisik secara nyata, misalnya permaian beregu atapun permainan individu,
adapun bentuk-bentuk permainannnya dapat berupa permainan dengan menggunakan
rangakian simpai, kardus karton, bola besar dan kecil, tali, dll.
3. Guru hanya terlibat untuk memberikan pengarahan tentang cara atau bagaimana alat-alat
tersebut dimainkan akan tetapi sebagai contoh kecil saja, kemudian biarkan anak
berkreasi sendiri, untuk memperlakukan alat tesebut seperti apa, dan berikan juga
kebebasan pada anak untuk memilih jenis permaianan yang akan dilakukan. Dengan
catatan seluruh jenis permaian yan g disediakan itu semuanya bisa dimanfaatkan oleh
anak dengan baik, tanpa adanya dominasi pada salah satu bentuk permainan. Bisa juga
dengann membagi anak kedalam bebrapa kelompok sesuai dengan jumlah permainan
yang ada, kemudian anak diberi kebebasan untuk bermain pada tempat yang telah
ditentukan itu selkam waktu yang ditentukan oleh guru/pendamping juga, kemudian
apabila waktu yang ditentukan telah habis, maka anak diberi waktu untuk mencoba
bentuk permaian yang lain, akan tetapi cara ini dirasa kurang memberi kebebasan pada
anak, dan cenderung mengaburkan metode Montessori yang sebenarnya.
4. Tahapan selanjutnnya yaitu kontrol dalam hal ini terutama memberikan penguatan pada
anak yang berhasil sukses membuat, melakukan, dan bekerjasama dengan temantemannya
dalam melakukan suatu bentuk permaian, adapun bentuk penguatan yang
diberikan dapat beruapa penguatan verbal dan non verbal. Dan apabila ada anak yang
dirasa kurang mempunyai motivasi, keberanian, keyakinan, maka guru/ataupun
pendamping diharapkan bisa cepat bereaksi untuk memberikan penguatan motivasi.
5. Satu hal penting yang perlu diperhatikan oleh seorang guru penjas, biasanya anak akan
lebih termotivasi melakukan suatu permainan bila didalamnya terkandung nilai
kompetisi, hal ini tidak secara nyata disampaikan oleh Montessori dalam metode
pembelajarannya, maka dari itu dalam kegiatan ini diharapkan seorang guru mampu
menyusun berbagai bentuk permainan atau aktivitas fisik lainnya yang mempunyai nilai
kompetisi, karena dengan aktivitas tersebut diharapkan anak akan menjadi lebih aktif
dalam bergerak, bermain dan berinteraksi dengan teman-temannya selin itu pula anak
akan berfikir dan mencoba untuk memaknai setiap kegiatan yang ada dalam
hubungannya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi serta nilai-nilai social
yang terkandung dalam aktivitas tersebut.
PENGEMBANGAN NILAI NILAI ETIKA DALAM PENDIDIKAN BERKARAKTER
Pengembangan nilai-nilai etika inti menyiratkan keyakinan tentang apa saja sifat-sifat karakter dan bagaimana caranya menjadi pribadi yang benar dan baik secara moral. Etika adalah aturan dasar yang digunakan untuk memperoleh seluruh nilai-nilai yang lain. Seluruh keyakinan tentang apa yang benar dan salah adalah nilai-nilai etika. Nilai etika inti bersifat universal dan objektif. Nilai-nilai yang menyediakan standar-standar karakter baik dan etika eksternal dan bersifat sepanjang masa. Nilai-nilai etika inti menurut Thomas Lickona adalah nilai-nilai yang menjunjung tinggi hak azasi manusia dan memperkokoh martabat manusia
.[1] Nilai-nilai yang berlaku berlaku secara universal di seluruh dunia. Nilai-nilai inti menyuguhkan tanggung jawab sipil dalam alam demokrasi demikian juga dipahami oleh pribadi-pribadi rasional dalam kebudayaan yang berbeda. Nilai-nilai moral itu mencakup kejujuran dan tanggungjawab yang menjadi kewajiban dalam bertindak sekalipun hal itu tidak kita inginkan.
[2] Secara universal nilai-nilai etika inti meliputi: kesalehan (piety), keterpercayaan (trustworthiness), hormat (respect), tanggung jawab (responsibility), keadilan (fairness), kepedulian (caring), dan kewarganegaraan (citizenship). Kesalehan berarti percaya kepada Tuhan dan memiliki komitmen untuk melaksanakannya, yakni ibadah kepada Tuhan, menghormati sesama manusia, dan melestarikan dan menjaga lingkungan sebagai habitat hidup. Keterpercayaan berarti menjadi percaya pada dan atau percaya dalam. Keterpercayaan meliputi sifat-sifat seperti integritas, keteguhan hati, kejujuran, kebenaran, ketulusan hati, terus terang, andal, menepati janji, dan loyalitas
.[3] Percaya adalah esensi bagi hubungan yang bermakna, abadi dan menghargai pertemanan, dan perkumpulan (asosiasi) sukses di perguruan tinggi, dalam aktivitas ekstra-kurikuler dan tempat kerja. Hormat memiliki makna yang setara dengan menghargai semua orang, menghargai martabat, privasi, dan kebebasan orang lain, santun, dan toleran atas perbedaan.
[4] Esensi hormat adalah menunjukkan kesungguhan dalam menghargai seseorang dan diri sendiri. Memperlakukan orang dengan hormat berarti menghargai keamanan dan kebahagiaan seseorang. Hormat bekerja sesuai dengan kaidah-kaidah luhur (the golden rule), memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan diri sendiri. Tanggung jawab berarti menjadi pribadi yang terhormat, melakukan tugas secara bertanggung jawab, menjadi pribadi yang bertanggung jawab, melakukan tanggung jawab terbaik demi keunggulan, dan berlatih mengendalikan diri.
[5] Tanggung jawab berarti kesadaran untuk melaksanakan hak dan kewajiban secara seimbang, mengetahui apa yang dilakukan (dan yang tidak dilakukan), dan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Tanggung jawab secara literer berarti “kemampuan menanggapi”. Tanggung jawab dimaknai tugas atau kewajiban positif kita. Tanggung jawab memanggil kita untuk memenuhi komitmen, campur tangan ketika diperlukan untuk menegakkan apa yang benar, dan membenahi apa yang salah. Tanggung jawab menggambarkan tentang keandalan atau keterpercayaan, kemampuan untuk melakukan tugas-tugas dan memenuhi kewajiban baik di rumah, di tempat kerja, dan di lingkungan masyarakat atau komunitas. Seseorang dapat dinilai bertanggung jawab jika ia dapat melakukan pekerjaannya bagi kelompoknya. Terdapat tiga kategori tanggung jawab, yakni tanggung jawab yang berpusat pada norma atau “tanggung jawab kolektif” (bertindak sesuai dengan nilai-nilai kelompok tertentu), tanggung jawab empatik atau tanggung jawab personal (digerakkan oleh penderitaan lain), dan tanggung jawab prinsipal atau tanggung jawab sosial (komitmen terhadap etika universal)
.[6] Adil berarti bersifat atau bersikap tidak memihak dan konsisten terhadap orang lain, bersedia mendengar dan terbuka terhadap pandangan yang berbeda, dan mengikuti prosedur yang adil terhadap orang lain dalam situasi yang ada
.[7] Kepedulian adalah esensi dari nilai etika. Peduli terhadap nilai, terhadap cinta, kehormatan, memiliki penghargaan tinggi dan berperhatian terhadap makhluk lain, komunitas, kota, negara, dan dunia. Kepedulian, dan kebajikan rasa kasih, berjasa, berbuat baik, mementingkan orang lain, kedermawanan, murah hati, dan kebersamaan adalah esensi etika.
[8] Kewarganegaraan, dalam hal ini kewarganegaraan yang baik, berarti memiliki rasa hormat terhadap hukum dan adat istiadat suatu negara, menghargai bendera dan segala simbol, melakukan gotong-royong membantu komunitas, bermain sesuai aturan masyarakat, dan menghargai figur penguasa dan representasinya.
[9] Kewarganegaraan dimaknai sebagai tugas, hak, perilaku dan tanggung jawab warga negara. Tidak satu pun dari nilai-nilai inti itu dapat diajarkan secara terpisah, hanya dalam suatu kombinasi dan penyatuan ke seluruh mata kuliah yang diajarkan di perguruan tinggi dapat memberi hasil positif. Oleh karenanya, suatu pendekatan sistem diperlukan untuknya.
[1]Thomas Lickona, ‘‘The Return of Character Education,’’ dalam Educational Leadership, Vol. 51, No. 3, 1993, 6–11 [2]Thomas Lickona, Educating for Character, New York: Bantam Books, 1991. [3]F. Clark Power et al., Moral Education: A Handbook, Volume 1 & 2, Westport: Praeger Publishers, 2008, 24. [4]Power, 2008, 24. [5]Power, 2008, 24. [6]Power, 2008, 384-5. [7]Power, 2008, 24. [8]Power, 2008, 24. [9]Power, 2008, 24.
Jumat, 09 Desember 2011
MODEL PENERAPAN MODEL KURIKULUM HUMANISTIK
Untuk menekankan peranan penjas dalam pembentukan watak dan karakter yang baik,
rupanya para guru penjas pun perlu merintis penerapan model kurikulum
humanistik, yang menurut pengembangnya, mampu meningkatkan rasa tanggung jawab
dan disiplin anak. Pelaksanaan model kurikulum ini secara sederhana dapat
diwakili oleh model Hellison yang telah mengembangkan prosedur untuk mengajak
siswanya berlatih bersama meningkatkan rasa tanggung jawabnya dalam praktek
pembelajaran penjas.
Model Hellison adalah model pengembangan disiplin yang didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Untuk menerapkannya, pertama-tama, guru perlu memberikan pemahaman kepada para siswanya, bahwa rasa tanggung jawab itu berkembang sesuai tingkatannya. Adapun tingkatan tanggung jawab itu dapat ditunjukkan melalui perilaku-perilaku nyata yang dapat diidentifikasi secara mudah, terutama dalam proses pembelajaran penjas. Secara sederhana, tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahapan perkembangan
Tahap 0: Irresponsibility—menggambarkan siswa yang tidak termotivasi dan tidak disiplin. Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Dalam pelajaran penjas, perilaku tersebut terlihat dari:
• Tidak mengikuti pelajaran, malahan mengajak yang lain untuk berbuat serupa.
• Selalu mengejek teman yang tidak bisa melakukan.
• Tidak pernah mau berbagi giliran dalam menggunakan alat dengan kawan lain.
• Tidak pernah mendengarkan penjelasan guru.
Bahkan perilaku tersebut akan terbawa atau sering muncul dalam setting kahidupan anak di tempat yang berbeda, misalnya:
di rumah: menyalahkan orang lain
di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain
di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan
dalam Penjas: berebut dengan orang lain pada saat mendapatkan peralatan.
Tahap 1: Self Control—menggambarkan siswa yang tidak berpartisipasi atau yang tidak menunjukkan penguasaan atau perbaikan, tetapi mampu mengontrol perilakunya. Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya:
• Tidak mengikuti pelajaran, tetapi tetap ikut menghadiri dan memperhatikan pelajaran.
• Tidak mengejek teman,
• Tidak mempengaruhi teman untuk turut bolos.
Dalam setting lain, hal ini terlihat nyata dalam perilaku berikut:
di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya.
di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain
di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya.
dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus.
Tahap 2: Involvement—menggambarkan siswa yang menunjukkan kontrol diri dan terlibat dalam pelajaran. Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya:
• Selalu mengikuti pelajaran.
• Tidak mencari tempat teduh manakala semua anak tetap terlibat dalam kegiatan belajar.
• Tidak sembunyi-sembunyi untuk menghindari tugas atau giliran.
Sama halnya, dalam setting lain perilaku tahap ini akan terlihat dalam hal:
di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor
di tempat bermain: bermain dengan yang lain
di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan
dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa
Tahap 3: Self Direction—menggambarkan siswa yang belajar mengambil tanggung jawabnya lebih besar atas pilihannya sendiri dan mengaitkan pilihannya itu dengan identitas dirinya, siswa mampu belajar tanpa pengarahan dan pengawasan langsung. Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya:
• Selalu giat berlatih walaupun tidak diawasi guru,
• Selalu mencoba lagi walaupun tugas dianggap sulit,
• Meminta penjelasan dari guru manakala ada tugas yang tidak jelas.
• Ikut memberikan semangat pada kawan yang mengalami kesulitan.
Berkembang dalam setting yang berbeda, hal ini dapat terlihat sebagai berikut:
di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh
di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh
di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya
dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah.
Tahapan 4: Caring—menggambarkan siswa yang termotivasi untuk memperluas rasa tanggung jawabnya dengan bekerjasama, memberikan dukungan, memberikan perhatian, dan menolong siswa lain (Hellison, 1995). Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya:
• Selalu membantu guru dalam mempersiapkan alat.
• Selalu membantu teman yang mendapatkan kesulitan belajar.
• Mendukung penuh dan mendorong teman-teman untuk bersama-sama belajar dengan tekun.
Dalam bentuk lain, perilaku mereka akan terlihat lebih jelas seperti di bawah ini:
di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi.
di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain.
di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran.
dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas
Strategi pembelajaran
Untuk memaksimalkan hasil dari penerapan model Hellison tersebut, guru perlu mengikuti strategi yang tepat seperti di bawah ini:
Strategi Pengajaran Tanggung Jawab
• Teacher Talk—menjelaskan tahapan, menempatkan siswa, mengarahkan momen-momen penting dalam pembelajaran.
• Modeling—memberikan pemodelan pada sikap dan perilaku perkembangan.
• Reinforcement—setiap tindakan guru memperkuat sikap atau perilaku individu yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Reflection Time—waktu yang diberikan kepada siswa untuk memikirkan sikap dan perilaku yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Students Sharing—meminta siswa untuk memberikan pendapat tentang beberapa aspek dari pembelajaran.
• Specific Level-Related Strategies—kegiatan yang meningkatkan interaksi dengan tahapan yang sedang dijalani; misalnya penetapan target individu untuk membantu siswa yang berada di tahap 3; dan pengajaran berbalasan (reciprocal teaching) untuk membantu siswa yang berada di tahap 4 (Steinhardt, 1992; Hellison, 1984; Hellison, 1995).
Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan kelompoknya. Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kaulitas rasa tnggung jawab yang dikembangkannya.
3) Contoh Bentuk Latihan Levels of Affective Development
Pembinaan rasa tanggung jawab melalui pendekatan model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran Penjas dan berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga akhir tahun ajaran. Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab pribadi yang terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus diberikan yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh latihan dalam Levels of Affective Development sebagai berikut.
a) Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru menanyakan dan menyuruh siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level 0, level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil peralatan itu.
b) Pada saat belajar keterampilan baru (new skill), siswa disuruh bekerja pada level yang paling baik. Selanjutnya guru memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
c) Pada saat siswa berperilaku menyimpang, siswa tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas untuk memikirkan mengapa perilaku menyimpang adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa tahu perilaku siswa pada level 1 atau level yang lebih tinggi serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu berperilaku pada level yang lebih tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu untuk kembali mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
d) Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh itu untuk mengidentifikasi pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan tersebut serta bagaimana cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan tersebut.
e) Pada kasus kerja kelompok. Sebelum melakukannya guru dan siswa mendiskusikan bagaimana perilaku siswa pada level 4 dalam bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi adalah bagaimana bekerja sama dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level 1.
4) Evaluasi Levels of Affective Development
Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa tanggung jawab ini dan seringkali menjadi fokus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa tanggung jawab
e) wawancara dengan orang lain
Model Hellison
Model Hellison adalah model pengembangan disiplin yang didasarkan pada motivasi intrinsik anak. Untuk menerapkannya, pertama-tama, guru perlu memberikan pemahaman kepada para siswanya, bahwa rasa tanggung jawab itu berkembang sesuai tingkatannya. Adapun tingkatan tanggung jawab itu dapat ditunjukkan melalui perilaku-perilaku nyata yang dapat diidentifikasi secara mudah, terutama dalam proses pembelajaran penjas. Secara sederhana, tingkatan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Tahapan perkembangan
Tahap 0: Irresponsibility—menggambarkan siswa yang tidak termotivasi dan tidak disiplin. Pada level ini anak tidak mampu bertanggung jawab atas perilaku yang diperbuatnya dan biasanya anak suka mengganggu orang lain dengan mengejek, menekan orang lain, dan mengganggu orang lain secara fisik. Dalam pelajaran penjas, perilaku tersebut terlihat dari:
• Tidak mengikuti pelajaran, malahan mengajak yang lain untuk berbuat serupa.
• Selalu mengejek teman yang tidak bisa melakukan.
• Tidak pernah mau berbagi giliran dalam menggunakan alat dengan kawan lain.
• Tidak pernah mendengarkan penjelasan guru.
Bahkan perilaku tersebut akan terbawa atau sering muncul dalam setting kahidupan anak di tempat yang berbeda, misalnya:
di rumah: menyalahkan orang lain
di tempat bermain: memanggil nama jelek terhadap orang lain
di kelas: berbicara dengan teman saat guru sedang menjelaskan
dalam Penjas: berebut dengan orang lain pada saat mendapatkan peralatan.
Tahap 1: Self Control—menggambarkan siswa yang tidak berpartisipasi atau yang tidak menunjukkan penguasaan atau perbaikan, tetapi mampu mengontrol perilakunya. Pada level ini anak terlibat dalam aktivitas belajar tetapi sangat minim sekali. Anak didik akan melakukan apa-apa yang disuruh guru tanpa mengganggu yang lain. Anak didik nampak hanya melakukan aktivitas tanpa usaha yang sungguh-sungguh. Sebagai contoh misalnya:
• Tidak mengikuti pelajaran, tetapi tetap ikut menghadiri dan memperhatikan pelajaran.
• Tidak mengejek teman,
• Tidak mempengaruhi teman untuk turut bolos.
Dalam setting lain, hal ini terlihat nyata dalam perilaku berikut:
di rumah: menghindari dari gangguan atau pukulan dari saudaranya walaupun hal itu tidak disenanginya.
di tempat bermain: berdiri dan melihat orang lain bermain
di kelas: menunggu sampai datang waktu yang tepat untuk berbicara dengan temannya.
dalam Penjas: berlatih tapi tidak terus-menerus.
Tahap 2: Involvement—menggambarkan siswa yang menunjukkan kontrol diri dan terlibat dalam pelajaran. Anak didik pada level ini secara aktif terlibat dalam belajar. Mereka bekerja keras, menghindari bentrokan dengan orang lain, dan secara sadar tertarik untuk belajar dan untuk meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh misalnya:
• Selalu mengikuti pelajaran.
• Tidak mencari tempat teduh manakala semua anak tetap terlibat dalam kegiatan belajar.
• Tidak sembunyi-sembunyi untuk menghindari tugas atau giliran.
Sama halnya, dalam setting lain perilaku tahap ini akan terlihat dalam hal:
di rumah: membantu mencuci dan membersihkan piring kotor
di tempat bermain: bermain dengan yang lain
di kelas: mendengarkan dan belajar sesuai dengan tugas yang diberikan
dalam Penjas: mencoba sesuatu yang baru tanpa mengeluh dan mengatakan tidak bisa
Tahap 3: Self Direction—menggambarkan siswa yang belajar mengambil tanggung jawabnya lebih besar atas pilihannya sendiri dan mengaitkan pilihannya itu dengan identitas dirinya, siswa mampu belajar tanpa pengarahan dan pengawasan langsung. Pada level ini anak didik didorong untuk mulai bertanggung jawab atas belajarnya. Ini mengandung arti bahwa siswa belajar tanpa harus diawasi langsung oleh gurunya dan siswa mampu membuat keputusan secara independen tentang apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya. Pada level ini siswa sering disuruh membuat permainan atau urutan gerakan bersama temannya dalam suatu kelompok kecil. Kegiatan seperti ini sangat sulit dilakukan oleh siswa pada level sebelumnya. Mereka biasanya menghabiskan waktu untuk berargumentasi daripada untuk melakukan gerakan bersama-sama. Beberapa contoh perilaku siswa pada level tiga ini misalnya:
• Selalu giat berlatih walaupun tidak diawasi guru,
• Selalu mencoba lagi walaupun tugas dianggap sulit,
• Meminta penjelasan dari guru manakala ada tugas yang tidak jelas.
• Ikut memberikan semangat pada kawan yang mengalami kesulitan.
Berkembang dalam setting yang berbeda, hal ini dapat terlihat sebagai berikut:
di rumah: membersihkan ruangan tanpa ada yang menyuruh
di tempat bermain: mengembalikan peralatan tanpa harus disuruh
di kelas: belajar sesuatu yang bukan merupakan bagian dari tugas gurunya
dalam Penjas: berusaha belajar keterampilan baru melalui berbagai sumber di luar pelajaran Pendidikan Jasmani dari sekolah.
Tahapan 4: Caring—menggambarkan siswa yang termotivasi untuk memperluas rasa tanggung jawabnya dengan bekerjasama, memberikan dukungan, memberikan perhatian, dan menolong siswa lain (Hellison, 1995). Anak didik pada level ini tidak hanya bekerja sama dengan temannya, tetapi mereka tertarik ingin mendorong dan membantu temannya belajar. Anak didik pada level ini akan sadar dengan sendirinya menjadi sukarelawan (volunteer) misalnya menjadi partner teman yang tidak terkenal di kelas itu, tanpa harus disuruh oleh gurunya untuk melakukan itu. Beberapa contoh misalnya:
• Selalu membantu guru dalam mempersiapkan alat.
• Selalu membantu teman yang mendapatkan kesulitan belajar.
• Mendukung penuh dan mendorong teman-teman untuk bersama-sama belajar dengan tekun.
Dalam bentuk lain, perilaku mereka akan terlihat lebih jelas seperti di bawah ini:
di rumah: membantu memelihara dan menjaga binatang peliharaan atau bayi.
di tempat bermain: menawarkan pada orang lain (bukan hanya pada temannya sendiri) untuk ikut sama-sama bermain.
di kelas: membantu orang lain dalam memecahkan masalah-masalah pelajaran.
dalam Penjas: antusias sekali untuk bekerja sama dengan siapa saja dalam Penjas
Strategi pembelajaran
Untuk memaksimalkan hasil dari penerapan model Hellison tersebut, guru perlu mengikuti strategi yang tepat seperti di bawah ini:
Strategi Pengajaran Tanggung Jawab
• Teacher Talk—menjelaskan tahapan, menempatkan siswa, mengarahkan momen-momen penting dalam pembelajaran.
• Modeling—memberikan pemodelan pada sikap dan perilaku perkembangan.
• Reinforcement—setiap tindakan guru memperkuat sikap atau perilaku individu yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Reflection Time—waktu yang diberikan kepada siswa untuk memikirkan sikap dan perilaku yang berhubungan dengan tahapan perkembangan.
• Students Sharing—meminta siswa untuk memberikan pendapat tentang beberapa aspek dari pembelajaran.
• Specific Level-Related Strategies—kegiatan yang meningkatkan interaksi dengan tahapan yang sedang dijalani; misalnya penetapan target individu untuk membantu siswa yang berada di tahap 3; dan pengajaran berbalasan (reciprocal teaching) untuk membantu siswa yang berada di tahap 4 (Steinhardt, 1992; Hellison, 1984; Hellison, 1995).
Strategi penyadaran dan tindakan dimaksudkan untuk menyadarkan siswa tentang definisi tanggung jawab baik secara kognitif maupun dalam bentuk tindakan. Strategi refleksi dimaksudkan untuk membantu siswa mengevaluasi sendiri mengenai komitmen dan tandakan rasa tanggung jawabnya. Strategi keputusan pribadi dan pertemuan kelompok dimaksudkan untuk memberdayakan siswa secara langsung dalam membuat keputusan pribadi dan kelompoknya. Strategi konsultasi dan kualitas mengajar dimaksudkan untuk menyediakan beberapa struktur dan petunjuk bagi siswa untuk dapat berinteraksi mengenai kaulitas rasa tnggung jawab yang dikembangkannya.
3) Contoh Bentuk Latihan Levels of Affective Development
Pembinaan rasa tanggung jawab melalui pendekatan model Hellison dilakukan secara terintegrasi dalam pelajaran Penjas dan berlangsung secara terus menerus semenjak awal hingga akhir tahun ajaran. Penjelasan tentang tingkat perkembangan rasa tanggung jawab pribadi yang terdiri dari lima tingkatan tersebut di atas terlebih dahulu harus diberikan yang selanjutnya diikuti oleh latihan-latihan. Beberapa contoh latihan dalam Levels of Affective Development sebagai berikut.
a) Pada kasus mengambil peralatan olahraga. Guru menanyakan dan menyuruh siswa tentang bagaimana perilaku seseorang pada level 0, level 1, 2, 3, dan 4 pada waktu mengambil peralatan itu.
b) Pada saat belajar keterampilan baru (new skill), siswa disuruh bekerja pada level yang paling baik. Selanjutnya guru memberikan penghargaan, pujian, atau pinpointing terhadap siswa yang bekerja lebih baik.
c) Pada saat siswa berperilaku menyimpang, siswa tersebut mendapat “time out” dan diberi tugas untuk memikirkan mengapa perilaku menyimpang adalah level 0. Selanjutnya setelah siswa tahu perilaku siswa pada level 1 atau level yang lebih tinggi serta cukup meyakinkan guru bahwa ia mampu berperilaku pada level yang lebih tinggi, maka gurunya mengijinkan siswa itu untuk kembali mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya.
d) Pada saat siswa mengeluh tentang perbuatan siswa yang lainnya, guru menyuruh anak yang mengeluh itu untuk mengidentifikasi pada level mana perbuatan siswa yang dikeluhkan tersebut serta bagaimana cara-cara bergaul dengan siswa yang dikeluhkan tersebut.
e) Pada kasus kerja kelompok. Sebelum melakukannya guru dan siswa mendiskusikan bagaimana perilaku siswa pada level 4 dalam bekerja sama pada sebuah group. Topik diskusi adalah bagaimana bekerja sama dengan siswa yang mempunyai level 0 dan level 1.
4) Evaluasi Levels of Affective Development
Program evaluasi dalam model ini merupakan masalah tersendiri terutama bagi para guru yang belum terbiasa melakukan penilaian kualitatif. Selain penilaian yang berhubungan dengan keolahragaan dan pendidikan jasmaninya. Beberapa bentuk penilaian yang berhubungan dengan rasa tanggung jawab ini dan seringkali menjadi fokus utama adalah sebagai berikut,
a) catatan harian
b) observasi
c) refleksi siswa
d) tes pengetahuan rasa tanggung jawab
e) wawancara dengan orang lain
MODEL PENDIDIKAN KOOPERATIF
Model
Pendidikan Kooperatif
a. Tiga Struktur Tujuan dalam Penjas: Kompetitif, Individual, dan Kooperatif
Untuk memaksimalkan pembelajaran, guru pendidikan jasmani biasanya harus menetapkan struktur tujuan yang mana yang akan digunakan untuk menghasilkan pencapaian tujuan bagi sebanyak mungkin siswa. Struktur tujuan adalah cara siswa berinteraksi secara verbal maupun secara fisik dengan teman sendiri atau dengan guru ketika terlibat dalam pembelajaran. Keputusan yang baik tentang tujuan mengarah langsung pada pencapaian hasil pendidikan jasmani, walaupun sering diabaikan oleh kebanyakan guru penjas.
Pada dasarnya, terdapat tiga struktur tujuan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan, yaitu kompetitif, individual, dan kooperatif. Berikut akan dijelaskan masing-masing struktur tujuan tersebut.
1) Struktur Tujuan Kompetitif
Pertandingan regu dan perlombaan adalah dua contoh dari pembelajaran penjas yang menggunakan struktur tujuan kompetitif. Aktivitas pertandingan ini biasanya dikategorikan sebagai format “zero sum” di mana ada satu pemenang dan satu yang kalah, atau berformat “negative sum” dengan satu pemenang dan banyak yang kalah. Kategori lain bersifat lomba yang meningkat berkelanjutan (kontinjensi), di mana kelangsungan keikutsertaan ditentukan oleh keberhasilan yang tidak terputus. Contoh kategori ini dapat dilihat dalam lomba lompat tinggi, ketika pelompat yang tidak berhasil melalui ketinggian tertentu harus berhenti atau keluar dari lomba.
Dalam pembelajaran yang berstruktur kompetitif, siswa bergantung secara negatif kepada yang lain. Ketergantungan negatif terjadi ketika keberhasilan seorang siswa atau sekelompok siswa terkait erat dengan ketidakberhasilan siswa atau sekelompok siswa lain. Jenis ketergantungan demikian sangat nyata terlihat ketika siswa berlomba dalam lompat tinggi atau beberapa nomor atletik lainnya. Seorang siswa dapat melakukan yang terbaik ketika siswa yang lain tidak bisa menjadi yang terbaik.
Beberapa hasil positif biasanya dipercayai guru dalam penggunaan struktur tujuan tersebut dalam pendidikan jasmani. Asumsi utamanya menunjuk pada kepercayaan bahwa mahluk hidup termasuk manusia memang memiliki kecenderungan bawaan untuk berkompetisi. Dan karenanya, harus belajar berkompetisi agar bisa sukses dalam dunia yang semakin kompetitif ini. Beberapa ahli umumnya menghubungkan kompetisi dengan hasil-hasil seperti berikut:
• Perkembangan karakter,
• Peningkatan self esteem dan self confidence,
• Motivasi untuk sukses
• Pemantapan keunggulan sebagai tujuan,
• Mempertahankan minat keikutsertaan,
• Rasa keberhasilan pribadi setelah mengalahkan orang lain,
Cara berpikir alternatif tentang kompetisi dan pengaruhnya pada pembelajaran timbul ketika asumsi dan hasil yang berbeda mulai diperhatikan oleh kita. Cukup menarik menemukan fakta bahwa kebanyakan interaksi harian dalam hidup lebih bersifat kooperatif, tidak kompetitif. Buktinya kita lebih sering bergantung pada peranan orang di luar diri kita.
Di samping itu, kompetisi dengan sifat sangat bergantungnya pada standar (misalnya, peraturan, atau peralatan), justru menghasilkan situasi yang kurang diharapkan pada banyak siswa, sebab mereka tidaklah bersifat standar. Tetapi, mereka lebih bersifat heterogen dalam berbagai hal: kemampuan, minat, pengalaman, dan kematangan. Dengan kata lain, perbedaan individual siswa tidak sejalan dengan persyaratan yang dibutuhkan untuk kompetisi.
Akibatnya, kompetisi dapat menjadi sebuah pengalaman yang menghambat pembelajaran bagi banyak siswa. Apalagi, karena tingginya tingkat kegagalan yang ditemui dalam kompetisi, hanya mereka yang mempunyai kesempatan untuk berhasil sajalah yang termotivasi. Karenanya, kompetisi hanya tepat bagi sekelompok siswa terpilih dalam satu kelas yang menunjukkan tingkat keterampilan dan kebugaran jasmani yang sama serta memilih untuk membandingkan penampilannya dengan orang lain. Beberapa studi malah menunjukkan bahwa aktivitas kompetitif membatasi kesempatan belajar siswa.
Seperti juga dilansir oleh beberapa pengamatan, keikutsertaan dalam aktivitas kompetisi tradisional tidak memberikan kesempatan pada semua siswa untuk berlatih, menguasai, dan memperhalus keterampilan yang diperlukan dalam partisipasi mereka. Dengan kata lain, menggunakan aktivitas pendidikan jasmani format kompetitif dapat menjadi penghalang pada pembelajaran siswa.
2) Struktur Tujuan Individual
Program Penjas pun terkadang menyandingkan struktur tujuan individual di dalamnya. Pembelajaran untuk cabang atau jenis olahraga seperti senam, latihan kebugaran, senam aerobik, atau renang, adalah beberapa contoh pembelajaran berformat individual.
Pada saat pembelajaran individual, siswa biasanya tidak saling berhubungan dan tidak saling menggantungkan diri dengan siswa lain. Ketidakbergantungan tersebut didefinisikan sebagai tidak adanya hubungan kerja antara individu selama berusaha mencapai tujuan pembelajarannya. Selama pembelajaran individual, pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak mempengaruhi pencapaian tujuan dari siswa yang lain. Demikian juga sebaliknya, tidak adanya usaha pencapaian tujuan dari seorang siswa tidak juga mempengaruhi ada atau tidak adanya usaha dari siswa lain.
Saling ketidakbergantungan demikian dapat diamati ketika seorang siswa sedang berusaha melakukan sebanyak mungkin gerakan push ups dalam waktu 30 detik. Pencapaian siswa tersebut tidak ada kaitannya dengan pencapaian atau tidak adanya pencapaian dari siswa lain. Siswa bekerja atau berlatih sendiri; interaksi di antara siswa tidak dipandang perlu atau didorong secara sengaja.
Pembelajaran individual dalam pendidikan jasmani memang mempunyai benang sejarah yang cukup panjang. Program penjas yang pada masa-masa awal perkembangannya banyak menekankan pada latihan pribadi (individual) seperti pada senam, atletik, atau keterampilan memainkan bola (meskipun pelaksanaannya dilakukan bersama-sama). Program pendidikan gerak yang didasarkan pada teori gerak dari Rudolf Laban merupakan kelanjutan dari pembelajaran individual. Analisis dari Locke tentang individualisasi dalam penjas juga merupakan penguat dari pembelajaran individual.
Keyakinan bahwa usaha dan produktivitas hasil dari pembelajaran individual merupakan hal yang baik sudah diterima secara umum. Hasil-hasil seperti di bawah ini umumnya diyakini sebagai kelebihan dari pembelajaran individual:
• Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa,
• Memerlukan keterlibatan dari guru yang minimal,
• Pembelajaran individual meningkatkan pencapaian tujuan,
• Semua siswa mengalami keberhasilan,
• Pembelajaran individual menghilangkan persoalan sosial,
• Identitas dan karakter pribadi berkembang melalui kerja mandiri,
• Pembelajaran individual meningkatkan disiplin pribadi,
• Pembelajaran individual menghilangkan masalah kedisiplinan kelompok.
Namun demikian, banyak juga para ahli yang meragukan bahwa pembelajaran individual benar-benar efektif mengembangkan sifat-sifat di atas. Dari pengamatan, lebih banyak hal kontradiktif dari hasil di atas yang dapat ditemukan.
Pembelajaran individual, meskipun dipandang tepat untuk situasi tertentu, namun biasanya tidak berhasil mencapai hasil-hasil di atas bagi umumnya siswa. Pembelajaran individual tidak mendukung interaksi interpersonal yang positif di antara siswa karena siswa tidak diharuskan untuk berinteraksi. Diragukan juga bahwa pembelajaran individual dapat mengeliminir masalah sosial ketika siswa dipisahkan dari kegiatan temannya, karena saling ejek, pelabelan stereotipe, dan kecurigaan antar siswa tetap akan dapat berkembang.
3) Struktur Tujuan Kooperatif
Suatu contoh dari aktivitas penjas yang menggunakan struktur tujuan kooperatif adalah aktivitas mengumpulkan skor secara kolektif, di mana semua skor atau penampilan ditambahkan pada skor total dari kelompok. Ketika guru membangun struktur pembelajaran secara kooperatif, “saling-ketergantungan positif” berkembang di antara siswa. Pemahaman siswa bahwa mereka hanya dapat mencapai tujuan kalau siswa yang lain juga mencapai tujuan merupakan definisi yang tepat dari ketergantungan yang positif. Perasaan menjadi berada “pada sisi yang sama” adalah hasil dari struktur tujuan kooperatif.
Contoh lain dari ‘saling-ketergantungan positif’ yang lain dalam aktivitas penjas adalah permainan kelompok piramid kecil. Ketika guru menyajikan tugas untuk membangun piramid (standen) oleh lima orang siswa bersamaan, maka semua akan terlibat dalam keseimbangan dan saling mendukung, siswa secara positif saling tergantung karena setiap siswa harus menyumbang dengan keseimbangan dan dukungan, atau, kalau tidak, mereka tidak akan mencapai tujuan sama sekali. Guru yang mengajar dengan pembelajaran kooperatif akan banyak melihat perilaku-perilaku seperti ini: empati, memperhatikan, menolong, menyemangati, mengajar, membantu, mendengarkan, dsb. Dan guru memang harus mengharapkan tumbuhnya manfaat-manfaat demikian pada siswa melalui keikutsertaannya dalam penjas.
Langganan:
Postingan (Atom)